Imam Mahdi dari Perspektif Aliran-Aliran Syiah (Bagian ke-2)

Kepercayaan syiah imamiyah tentang imam mahdi yang gaib (menghilang) ternyata dipenuhi kesimpangsiuran dan ketidakjelasan. Kondisi dan situasi itu diabadikan oleh salah satu ulama Syiah dan pakar sejarah Syiah pada abad ke-3 Hijri, yaitu imam Al-Hasan bin Musa al-Nawbakhti, dalam kitabnya yang terkenal “Firaq al-Shia”. Baginya perkara ini sebenarnya telah membingungkan pengikut syiah bermula sejak wafatnya imam Ali RA. Perbedaan selalu muncul dan bertambah parah setiap kali seorang imam Syiah wafat, bahkan perbedaan tersebut terus menerus terjadi setelah wafatnya imam ke-11.

Setelah imam ke-11 wafat, puak Syiah terus terpecah-belah menjadi 14 kelompok. Ada kelompok yang percaya dia hidup lalu ghaib (menghilang), ada yang percaya dia wafat kemudian hidup lagi lalu ghaib, ada yang percaya dia memiliki anak yang kemudian ghaib, ada yang percaya imamah berhenti sementara dan kepercayaan berbeda-beda antara satu dengan  lainnya.

Beberapa abad kemudian, lewat kekuasaan Dinasti Syiah Safawiyah, barulah kepercayaan tentang imam Mahdi berhasil mendominasi dunia syiah. Berikut senarai nama-nama yang dijadikan imam Mahdi oleh golongan-golongan syiah secara keseluruhan:

    Ali bin Abi Talib.
    Muhammad bin al Hanafiyyah.
    Abdullah bin Muhammad bin al Hanafiyya (Abu Hasyim).
    Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Talib (ditunjuk oleh Abu Hasyim).
    Muhammad bin Abdullah bin al Hasan (al-Mutsanna) bin al Hasan bin Ali bin Abi Talib (dikenal dengan gelaran al-Nafs al-Zakiyyah)
    Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir.
    Ismail bin Ja’far al-Sadiq.
    Muhammad bin Ismail bin Ja’far al Sadiq.
    Musa al-Kazim bin Ja’far al-Sadiq.
    Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa.
    Hasan bin Ali al-Askari.
    Muhammad bin Hasal al-Askari.

Inilah deretan nama-nama imam Mahdi dalam golongan-golongan syiah yang diyakini secara amnya.

Oleh karena itu, sebaiknya sebelum memaparkan detail pandangan Syiah Imamiah tentang imam Mahdi, maka penting untuk kita ketahui, bahwa banyak kelompok syiah yang mengklaim kewujudan imam Mahdi dalam berbagai golongannya sepanjang sejarah. Dan klaim kewujudan imam Mahdi ini mendapatkan respon yang baik di dalam kalangan pengikut masing-masing golongan, sehingga tidak jarang dengan ta’assub masing-masing golongan saling bermusuhan antara satu sama lain, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah antara mereka yang mengklaim bahwa imam Mahdi ini wujud pada golongan mereka sahaja.

Di antara golongan-golongan dan gerakan-gerakan Syiah yang mengklaim imam Mahdi dalam kepercayaannya adalah sebagai berikut:

1. Syiah Sabaiyyah dan Imam Mahdi:

Adalah pengikut Abdullah bin Saba`, mereka melampau dan keterlaluan, yang berlebih-lebihan mempercayai bahwa Nabi Muhammad akan kembali ke dunia seperti Nabi Isa as. Kemudian mereka juga meyakini bahwa Ali belum mati tetapi beliau bersembunyi dan akan lahir kembali sebagai imam Mahdi. Dan mereka juga meyakini bahwa Jibril keliru dalam menyampaikan wahyu, mestinya Jibril menurunkan wahyu kepada Ali bukan kepada Nabi Muhammad. Dan  mereka juga meyakini bahwa ruh Tuhan turun kepada Ali[1].

2. Syiah Kaisaniyyah dan Imam Mahdi:

Adalah Syiah pengikut Mukhtar bin Ubai al-Saqafi. Golongan inipun digolongkan sebagai syiah yang ekstrem (Ghulat). Pendiri kelompok Kaissaniyah adalah Kisan, seorang mantan pelayan Ali. Kisan disebutkan pernah belajar kepada Muhammad Ibn Hanafiyyah, karena itu ilmu pengetahuannya mencakup segala macam pengetahuan, baik pengetahuan takwil (tafsir) maupun pengetahuan batin, baik pengetahuan yang fisik maupun pengetahuan non-fisik. Mereka sependapat bahwa agama merupakan ketaatan kepada pemimpin (Imam), karena para Imam dapat menafsirkan ajaran-ajaran pokok agama seperti shalat, puasa, dan haji. Bahkan sebahagian dari mereka ada yang meninggalkan perintah agama dan merasa cukup hanya dengan menaati para Imam. Sebagian lagi kelihatannya lemah dalam hal keyakinannya terhadap adanya hari kiamat dan sebagian yang lain menganut aliran hulul (roh ketuhanan masuk ke dalam tubuh manusia), tanasukh (roh berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain). Dan Raj’ah (hidup kembali di dunia juga setelah mati), sebagian lagi berpendapat imam tertentu tidak mati (ghaib) dan dia akan kembali lagi ke dunia sebagai imam Mahdi, baru mati setelah itu. Kendatipun demikian, mereka sepakat bahwa agama merupakan ketaatan kepada Imam, dan barang siapa yang tidak taat kepada Imam berarti dia bukanlah orang yang beragama[2]. Ada beberapa pengikut Kaisaniyyah berpendapat lain bahwa justru Abdullah bin Mu’awiah bin Ja’far bin Abi Talib yang menjadi imam Mahdi[3].

3. Syiah Mukhtariyyah dan Imam Mahdi.

Adalah kelompok Syiah yang mengikuti ajaran Mukhtar ibn Abi Ubaid Al-Tsaqafi. Pada mulanya Mukhtar sebagai seorang Khawarij, kemudian berubah menjadi pengikut Al- Zubairiyyah dan akhirnya menjadi pengikut Syiah dan Al-Kaisaniyyah. Dia mengakui kepimpinan (Imamah) Muhammad bin Hanafiyyah sesudah Ali bin Abi Thalib, bahkan sebelum Muhammad adalah Hasan dan Husain. Mukhtar mengajak masyarakat agar menerima pendapatnya, dan mengakui bahwa dirinya memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Ketika berita tentang dirinya dan ajarannya tersebar, Muhammad bin Hanafiyyah tidak mengakui semua yang telah dia katakan dan ajarkan, namun banyak juga orang awam yang tertarik menjadi pengikutnya.

Dasar-dasar ajarannya terdiri dari dua hal : 1. Menyandarkan ilmu dan dakwahnya kepada Muhammad ibn Hanafiyyah.  2. Balas dendam atas kematian Husain ibn Ali.

Karena itu dia dan para pengikutnya siang dan malam berjuang memerangi orang yang menurut mereka ikut terlibat dalam pembunuhan Husain ibn Ali. Di antara ajaran Mukhtar bin Ali Ubaid Al-Tsaqafi, bahwa Allah bersifat Al-Bada’ atau dengan kata lain bahwa Allah telah memulakan satu ketentuan baru setelah ketentuan awal gagal dilaksanakan. Oleh karena itu di sini ada kesan bahwa ilmu Allah didahului dengan sifat jahil dan berlaku perkara baharu dalam ilmu-Nya (Keyakinan ini juga terdapat dalam syiah Imamiah Itsna ‘Asyariah([4])  . Menurut para pengikutnya, Mukhtar mempunyai kursi kuno yang ditutup dengan kain sutera dan dihiasi dengan berbagai macam hiasan. Katanya, kursi itu adalah di antara peninggalan Ali dan kedudukannya sama dengan Tabut bagi Bani Israil. Apabila Bani Israil berperang, tabut itu diletakkan di depan barisan seraya dengan teriakan: serbu, kita akan memperoleh kemenangan, Kursi ini sama dengan tabut milik Bani Israil yang di dalamnya terdapat ketenangan dan kekekalan; para Malaikat berada di atas kamu yang akan membantu kamu. Cerita lain tentang keramatnya adalah seekor burung dara yang bertelur di udara, yang katanya barang dara itu adalah malaikat yang turun dalam rupa burung dan bertelur. Salah seorang pengikutnya yang setia, Al-Asyja, telah menulis sebuah buku tentang keramat Mukhtar. Mukhtar sengaja menyandarkan ajarannya kepada Muhammad ibn Hanafiyyah agar banyak orang  yang tertarik. Karena Muhammad ibn Hanafiyyah adalah orang yang sangat dikagumi dan dicintai masyarakat disebabkan oleh ilmu pengetahuannya yang luas, ketinggian ma’rifahnya terhadap Allah, mempunyai pemikiran-pemikiran yang cemerlang, dan tahu tentang kelebihan ilmu pengetahuannya. Namun ia sendiri lebih senang menyendiri dan tidak senang disanjung dan dipuji. Menurut sebagian orang, Muhammad Hanafiyyah memiliki ilmu pengetahuan tentang imamah, karenanya dia tidak akan menyerahkan amanat itu terkecuali kepada orang yang berhak. Dia tidak diwafatkan melainkan di tempat yang layak([5])  . Mereka mempercayai bahwa Muhammad Hanafiyyah merupakan imam Mahdi yang akan turun di akhir zaman untuk membunuh Dajjal dan memberi hidayah dan meluruskan kesesatan-kesesatan seluruh umat manusia serta membetulkan bumi yang rusak[6].

4. Syiah Hashimiyyah dan Imam Mahdi.

Adalah pengikut Abu Hasyim ibn Muhammad ibn Hanafiyyah. Menurut kelompok ini, kepimpinan berpindah dari Muhammad ibn Hanafiyyah kepada putranya yang bernama Abu Hasyim. Menurut mereka, Abu Hasyim telah menerima pelimpahan ilmu rahasia; dia mengetahui bukan saja kepada zahir, tetapi juga yang batin. Dia mengetahui tafsir dan takwil ayat-ayat Al Quran, sehingga maknanya dapat disesuaikan antara yang lahir dan batin. Mereka berpendapat, setiap yang lahir ada batinnya, setiap orang yang mempunyai roh, setiap ayat ada takwilnya, setiap apa yang ada di alam semesta ini ada hakikatnya pada alam lain. Hukum tersebar di seluruh penjuru, rahasia semuanya ada pada diri seseorang, yaitu ilmu yang dimiliki oleh imam Ali dan keturunannya, Muhammad Hanafiyyah. Dari dia ilmu itu dilimpahkan kepada putranya Abu Hasyim, dan barang siapa yang memiliki ilmu itu maka dia adalah Imam yang benar.

Sepeninggal Abu Hasyim, para pengikutnya berbeda pendapat, akibatnya muncul lima kelompok kecil:

– Kelompok Pertama: Mengatakan bahwa Abu Hasyim memang meninggal dalam perjalanan dari negeri Syam di sebuah desa yang bernama Al-Syarrah. Abu Hasyim telah memberikan wasiat tentang kepimpinan (Imamah) kepada putranya, Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dan keturunannya, bahwa kekhalifahan berpindah kepada Bani Abbasiah. Menurut kelompok ini, kekhalifahan di tangan mereka karena mereka berasal dari satu keturunan. Rasulullah wafat (tidak meninggalkan anak laki-laki), maka yang menjadi ahli warisnya adalah pamannya Abbas.

– Kelompok Kedua: Mengatakan bahwa Imamah sesudah Abu Hasyim berpindah kepada keponakannya yang bernama Al Hasan ibn Ali ibn Muhammad Hanafiyyah.

– Kelompok Ketiga: Mengatakan bahwa kepimpinan (Imamah) tidak berpindah kepada keponakannya Al-Hasan, tetapi diwasiatkan kepada saudaranya yang bernama Ali bin Muhammad, kemudian Ali mewasiatkan lagi kepada putranya Al-Hasan. Menurut kelompok ini, Imamah hanya pada keturunan Bani Hanafiyyah tidak boleh orang lain.

– Kelompok Keempat: Mengatakan bahwa Abu Hasyim mewasiatkan imamah kepada “Abdullah bin Amr bin Al Kindi”. Imamah berpindah dari keturunan Abu Hasyim kepada keturunan Abdullah, karena roh Abu Hasyim berpindah kepadanya.  Abdullah adalah seorang yang tidak dikenal wawasan ilmunya, dan pengamalan ajaran agamanya, karena sebahagian orang menuduhnya telah berkhianat dan berdusta. Orang banyak berpaling darinya, dan mengatakan imamah berada di tangan Abdullah bin Mua’wiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib.

Menurut Abdullah roh dapat berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya (tanasukh), dosa dan pahala berada dalam tubuh orang yang berbuat,  apakah tubuh tersebut dalam bentuk tubuh manusia atau binatang. Ia berkata: roh Tuhan berpindah-pindah sehingga sampai kepadanya dan masuk ke dalam tubuhnya (hulul). Ia mengaku dirinya mempunyai sifat ketuhanan dan kenabian dan mengetahui yang ghaib. Sehingga para pengikutnya menyembahnya. Mereka mengingkari adanya hari kiamat disebabkan oleh adanya teori bahwa roh berpindah-pindah dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya di dunia, dan pahala serta dosa menjadi tanggung jawab tubuh-tubuh itu. Dan ia menakwilkan ayat:

Dari kelompok ini lahir lagi kelompok-kelompok kecil “Al-Khurramiyah dan Al Muzdakiyyah di Irak. Dan ketika Abdullah tewas di Khurasan, para pengikutnya berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa ia masih hidup (ghaib) dan akan kembali sebagai imam Mahdi, ada pula yang mengatakan ia memang meninggal, namun rohnya berpindah kepada tubuh Ishak bin Zaid Al-Harits Al-Anshari. Kelompok ini dikenal dengan nama Al-Harithiyyah, yang menghalalkan semua yang diharamkan (Islam), dan dalam kehidupan ini tidak ada kewajiban (ibadah). Antara pengikut Abdullah bin Muawiyah dan pengikut Muhammad bin Ali terjadi perselisihan yang sangat tajam tentang Imamah.  Meskipun kedua kelompok masing-masing mengaku telah menerima wasiat dari Abu Hasyim namun wasiat dimaksud ditolak oleh kelompok lainnya([7])  .

5. Syiah Zaidiyah dan Imam Mahdi.

Salah seorang ulama Syiah Zaidiyah Imam Yahya bin Hamzah ‘Alawi (w. 749 H) mendefinisikan Syiah Zaidiyah sebagai: “Setiap golongan memiliki doktrin yang dibawa oleh pemimpin masing-masing. Adapun istilah Zaidiyah muncul setelah era Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Semenjak itulah Zaidiyah dikenal sebagai salah satu aliran Syiah yang mengatasnamakan nama pemimpinnya” [8]. Jelas dari teks di atas penamaan Syiah Zaidiyah dikaitkan dengan Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Zaidiyah merupakan salah satu kelompok Syiah terbesar selain Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah yang masih eksis sampai saat ini. Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w. 840 H) dalam kitabnya yang terkenal “al-Bahru az-Zahhar” menegaskan, bahwa ada tiga golongan besar Syiah, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’ilyah (di kenal dengan Syiah Bathiniyah). Sumber-sumber sejarah dan kitab-kitab klasik yang membahas tentang aliran-aliran Islam menjelaskan bahwa sebenarnya sejarah kemunculan Zaidiyah ditandai ketika Imam Zaid melancarkan revolusi melawan pemerintahan Bani Umayyah, yang didukung oleh lima belas ribu pasukan berasal dari penduduk Kufah di Iraq, di mana hal serupa dilakukan sebelumnya oleh kakek Imam Zaid yaitu imam Hussein bin Ali bin Abi Talib, dan mengalami kegagalan fatal dalam pertempuran di kota Karbala, dengan menewaskan 61 tentara Imam Hussein bin Ali. Namun selanjutnya Imam Zaid tidak menerima kegagalan tersebut, justru ia bersikeras untuk meneruskan revolusi kakeknya dan terus menerus memerangi Bani Umayyah sampai titik darah penghabisan. Maka ia dan bala tentaranya meninggalkan kota Kufah menuju tempat kekuasaan gubernur (Yusuf bin Umar Al-Thsaqafi) yang merupakan agen kepala negara ketika itu (Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan) yang berkuasa dari tahun 105 sampai tahun 125 Hijriyah[9].

Syiah Zaidiyah sepakat bahwa, imam Mahdi akan datang dan muncul untuk menghilangkan kezaliman-kezaliman dan segala bentuk penindasan yang terjadi di dunia di saat-saat akhir zaman, oleh karena itu ia bukan mitos tetapi sebuah hakikat yang akan dilalui sebelum terjadi hari kiamat kelak, dan bagi pandangan mereka -Syiah Zaidiyah- sebenarnya sama dengan pandangan Ahli Sunnah bahwa Rasulullah saw tidak pernah menentukan siapakah yang akan menjadi imam Mahdi, sebab Rasulullah saw hanya menggambarkan bahwa imam Mahdi berasal dari keturunan putri tercinta Rasulullah saw yaitu Fatimah al-Zahra, sama halnya dari garis Hasan ataupun Husein, nama imam Mahdi sama dengan nama Rasulullah saw, begitupun nama ayahnya sama dengan nama ayah Nabi saw, jadi nama lengkapnya imam Mahdi adalah “Muhammad bin Abdullah”. Oleh karena itu bagi syiah Zaidiyah imam Mahdi bukanlah seorang yang menghilang dan ditunggu-tunggu datang kembali “Al-Ghaib AL-Muntazar” sebagaimana kepercayaan syiah Imamiah, dalam sebuah kitab syiah Zaidiyah bertajuk “AL-Amaali AL-Khumaisiyyah” dinukilkan ucapan imam Zaid bahwa:

اَلْمَهْدِيُّ حَقٌ، وَهُوَ كَائِنٌ مِنَّا أَهْلُ الْبَيْتِ … إِمَامٌ لَكُمْ وَحُجَّةٌ عَلَيْكُمْ فَاتَّبِعُوْهُ تَهتَدُوْا.

“Imam Mahdi adalah sungguh kedatangannya, ia berasal dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi saw) … ia adalah pemimpin dan panutan kalian, oleh karena itu ikutilah dia niscaya kalian akan mendapat petunjuk” [10].

Sebuah kisah perbualan antara Abu Khalid Al-Wasitiy dengan imam Zaid bahwa:

قَالَ أبوْ خَالدِ الْوَاسِطِيِّ سَأَلْنَا زَيْدَ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ عَنِ الْمَهْدِي أَكَائِنٌ هُوَ؟ فقَال: نَعَمْ، فَقِيْلَ لَهُ: أمِنْ ولَدِ الْحَسَنِ أَمْ مِنْ وَلَدِ الْحُسَيْن؟ فَقَالَ زَيْدٌ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: “أَمَّا أَنَّهُ مِنْ ولَدِ فَاطِمَة صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهَا، وَهُوَ كَائِنٌ مِمَّنْ شَاءَ اللهُ مِنْ وَلَدِ الحَسَنِ، أَمْ مِنْ وَلَدِ الحُسَيْنِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ”.

Abu Khalid Al-Wasitiy: kami bertanya kepada imam Zaid bin Ali as tentang kewujudan imam Mahdi dan siapakah ia sebenarnya?, imam Zaid menjawab: betul imam Mahdi akan muncul, ditanya kembali: apakah berasal dari keturunan Hasan atau Husein?, imam Zaid berkata: “imam Mahdi berasal dari keturunan Fatimah sama halnya dari keturunan anak Hasan dan Husein” [11].

Di tempat lain, dijelaskan dalam kitab “Al-‘Iqdu Al-Tsamin” bahwa:

قَالَ الإِمَامُ اَلْمَنْصُوْرْ بِاللهِ عَبْدُاللهِ بْنْ حَمْزَة: قَالَ الإِمَامُ عَبْدُ اللهِ بِنْ حَمْزَة، لَمَّا تَظَاهَرَتِ الرِّوَايَاتُ فيِ هَلْ هُوَ مِنْ أَبْنَاءِ الْحَسَن أَوِ الْحُسَيْن :”وَقَدْ أَجْمَلَ كَثِيْرٌ مِنَ الأَئِمَّةِ عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ فيِ هَذَا الْبَابِ، وَذَكَرُوْا أَنَّ الْمَهْدِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمُ، وَلَمْ يَعْنَوْا بِمَا وَرَاءَ ذَلِكَ، وَهَلْ هُوَ مِنْ وَلَدِ الْحَسَن أَوْ مِنْ وَلَدِ الْحُسَيْن عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ، لِأَنَّ الْكُلَّ مَعْدَنُ الإِمَامَةِ وَمَحَلُّ الرِئَاسَةِ وَالزّعَامَةِ”.

Imam Al-Mansur billah mengatakan bahwa Abdullah bin Hamzah menjelaskan tentang kontroversi hakikat imam Mahdi apakah ia berasal dari keturunan Hasan atau dari keturunan Husein”, pada pandangan sebenar adalah para imam-imam syiah Zaidiyah menyebutkan bahwa imam Mahdi adalah berasal dari anak keturunan Fatimah as, dan tidak dinyatakan jelas apakah dari keturunan Hasan ataupun Husein, sebab kedua-duanya adalah sumber kepimpinan Imamah”[12].

Dari ketiga riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa syiah Zaidiyah berpendapat sama dengan Ahli Sunah wal Jamaah bahwa imam Mahdi tidak ghaib, berasal dari keturunan Fatimah, tidak ditentukan seseorang yang mana satu, sama halnya dari anak keturunan Hasan ataupun Husein.

Di samping itu perlu disebutkan di sini bahwa salah satu pecahan syiah Zaidiyah yaitu syiah Al-Jarudiyah (dikenal sebagai syiah Zaidiyah ekstrem), berpendapat lain, mereka meyakini bahwa imam Mahdi telah ditentukan yaitu Muhammad bin Abdullah “Al-Nafs Al-Zakiyah”, yang terbunuh pada tahun 45H.

6. Syiah Ismailiyah dan Imam Mahdi.

Golongan ini merupakan syiah yang ekstrem, sehingga semua golongan Sunni (Asy’ariyah, Maturidiyah), Mu’tazilah dan Ibadhiyah mengkafirkan mereka, bahkan sesama Syiah sendiri, Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah ikut mengharamkan dan mengkafirkan golongan tersebut. Pengikutnya dianggarkan berjumlah sekitar 2 juta orang dan berpusat di India. Juga pengikutnya boleh di dapati di sekitar Asia Tengah, Iran, Suriah, Pakistan, Suriah, Lebanon, timur Afrika dan Afrika Selatan. Ismailiyah pernah menjadi kelompok syiah yang paling berpengaruh di antara puak-puak Syiah, dan pernah mencapai puncak kekuasaan politiknya pada masa kekuasaan Kerajaan Fatimiyah pada abad ke 10 hingga ke 12 Masihi.  Penamaan sebagai syiah Ismailiyah diperolehi karena pengikut-pengikutnya memilih Ismail bin Jaafar (101-159 H) sebagai  Imam ke tujuh  dan  terakhir. Itulah sebab kenapa ajaran Ismailiyah dikenali juga sebagai mazhab Saba’iyyah atau tujuh imam.

Ismail meninggal dunia ketika ayahnya Imam Jafar Al-Sadiq masih hidup. Imam Jafar mempersaksikan kepada orang ramai bahwa putranya yang bernama Ismail telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebahagian orang Syiah meyakini bahwa Ismail tidak meninggal dunia, sebab ayahnya hanya coba mengaburi Khalifah Al-Abbasiyah Manshur Dawaniqi karena khawatir akan membunuh anaknya. Mereka yakin Imam Ismail ghaib dan akan muncul sebagai Imam Mahdi. Ini menyebabkan Imam Jaafar berulang kali menerangkan kepada mereka agar tidak menduga-duga Imam Ismail akan muncul kembali. Ini menyebabkan wujudnya perbedaan pandangan di kalangan kelompok Ismailliyah, yaitu; Mereka yang tidak dapat menerima hakikat dan terlalu taksub kepada Imam Ismail: Mereka tetap dengan pendirian bahwa Imam Ismail tidak mati (ghaib) dan akan muncul semula sebagai Imam Mahdi. Mereka yang percaya kepada kewafatan Imam Ismail: Mereka mendapatkan waris menggantikan Imam Ismail, lalu mengangkat anak kepada Imam Ismail, yaitu Muhammad bin Ismail (141-192 H) menjadi Imam yang baru (ke 7), juga dianggap sebagai Imam Mahdi. Pengikut mazhab Ithna ‘Asyariah, pula mengiktiraf adik kepada Ismail yaitu, Musa al-Kazim sebagai Imam ke tujuh  mereka. Bagaimanapun Ismailiyah menerima keenam-enam Imam Syiah terdahulu sama seperti syiah Ithna ‘Asyariah.

7. Syiah Imamiyah Itsna’Asyariah dan Imam Mahdi.

Sebagaimana maklum bahwa Syiah Imamiah adalah mereka yang mengakui dua belas orang imam, telah didefinisikan sendiri oleh salah seorang ulama Syiah modern yang bernama Muhammad al-Husain al-Muzhaffar bahwa mereka adalah: “orang-orang yang mengakui dua belas imam yang dimulai dari bapak Hasan (imam Ali) sampai kepada  keturunan Hasan”[13]. Teks ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa Syiah imamiah memiliki karakteristik yang berupa pengakuan mengenai keimaman dua belas imam. Syaikh Muhammad Jawwad Mughniah juga menegaskan bahwa: “Itsna asyariyah merupakan  sebuah julukan yang diberikan kepada kelompok Syiah imamiyah yang mengakui keberadaan dua belas imam yang ditentukan melalui nama-nama mereka”[14]. Kedua belas Imam adalah sebagai berikut:

    Ali ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)
    Al-Hasan ibn ‘Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)
    Al-Husain ibn ‘Ali “Sayyid al-Syuhada’” (w. 61 H/680 M)
    Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal ‘Abidin” (w. 95 H/714 M)
    Abu Ja’far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
    Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
    Abu Ibrahim Musa bin Ja’far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
    Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
    Abu Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
    Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
    Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
    Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329   H/940 M).

Di sebalik Kematian Imam ke Sebelas, yaitu imam Hasan Al-Askari yang bagi -Ahlu Sunnah- ia meninggal tanpa meninggalkan keturunan. Sehingga hal ini menyusahkan tokoh dan ulama Syiah Imamiyah, sebab dalam tradisi kepimpinan imamah Syiah Imamiyah, seorang imam wajib meninggalkan putra sebagai generasi kepimpinan selanjutnya untuk mencukupkan bilangan dua belas imam-imam syiah yang dikenali sebagai (Syiah Al-Itnaa ‘Asyariah). Bahkan kepimpinan ini sebenarnya merupakan kepemimpinan umum ilahiyah, khilafah penerus Rasulullah saw dalam berbagai perkara dunia dan agama, sehingga semua manusia harus menaati sang imam. Dan perbedaan di antara Nabi saw dan imam yaitu, Nabi saw adalah hakim asal untuk manusia pada perkara agama dan dunia mereka secara langsung tanpa ada perantara, sedangkan imam adalah hakim dengan perantara Nabi saw[15]. Jadi imamah dengan dua kekuasaan agama dan dunia ini merupakan suatu jawatan agama yang bersifat Ilahi, sama dengan silsilah kenabian, yang membedakannya dengan Nabi adalah tidak diturunkannya wahyu kepada imam. Oleh karena itu imamah tidak melalui proses pemilihan, dan penetapannya hanya semata-mata berdasarkan ketentuan dari Allah dan Rasulullah saw, atau berdasarkan teks (nash) yang diberikan oleh Rasulullah saw secara turun temurun dari imam yang terdahulu kepada imam yang selanjutnya[16].

Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya hukum-hukum ilahi hanya diperoleh dari sumber para imam, dan pengambilannya hanya sah jika dikeluarkan oleh mereka. Dan tidak ada perselisihan di antara Syiah imamiyah dengan Syiah isma’iliyah pada poin ini[17].

Jadi kalau seorang imam meninggal tanpa meninggalkan seorang pun putra yang akan melanjutkan misi dan perjuangan kepimpinan (imamah) syiah, maka gugurlah kepimpinan imamah tersebut, dan atas sebab ini ulama Syiah Imamiyah berusaha menutupi kemusykilan kepimpinan setelah meninggalnya imam yang ke dua belas yaitu imam Hasan Al-Askari. Sebab apapun halnya, imamah wajib hadir di tengah masyarakat dan mereka wajib mengenal dan mengesan keberadaan seorang imam, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh pengarang kitab “Usul Al-Kafi”:

“مَنْ مَاَت وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِهِ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barang siapa yang mati tanpa mengetahui imam pada masanya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”[18].

Pada tempat lain Al-Kulaini dengan sanadnya dari Abu Ja’far as memaparkan bahwa: “sesungguhnya jika seorang imam diangkat dari bumi untuk sesaat saja, maka para penghuni bumi pasti akan bergelombang sebagaimana bergelombangnya laut dengan para penghuninya”[19]. Hal ini juga ditegaskan oleh syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, seorang ulama Syiah modern, yang berkata: “oleh karena itu, suatu masa/zaman tidak boleh kosong dari seorang imam yang harus ditaati yang dipilih langsung oleh Allah swt, tanpa memedulikan apakah manusia mau terima atau tidak, juga baik mereka mendukungnya ataupun tidak mendukungnya, menaatinya ataupun  tidak menaatinya, juga apakah mereka tampak kelihatan dari mata manusia ataupun  tidak kelihatan”[20].

Dalam keadaan seperti di atas dan ketika imam Hasan Al-Askari wafat, dengan sigapnya seorang rekan imam Hasan Al-Askari bernama Usman bin Said menyatakan bahwa Hasan al-Askari sebenarnya telah memiliki seorang anak sebelum ia wafat. Anak ini seharusnya berusia empat tahun dan diberi nama “Muhammad”.  Dan anak ini menghilang dari pandangan mata, sebab ia dalam “keghaiban”, sehingga hanya  Usman bin Said yang dapat berhubungan dengannya. Dan semenjak itu Usman bin Said  bertindak sebagai perwakilan dari Imam Gaib. Salah satu alasan Ghaibnya Muhammad Hasan Askari disebutkan oleh seorang ulama Syiah Imamiah yaitu imam Al –Tusi, ia katakan: “Tidak ada alasan yang menghalangi kemunculannya, selain karena ia khawatir dibunuh. Sebab jika tidak ada kekhawatiran ini, ia tidak boleh menyembunyikan diri”[21]. Oleh karena itu pengikut Syiah jika ditanya penyebab dan hikmah persembunyian imam Mahdinya di dalam gua dan tidak menzahirkan diri di hadapan orang ramai, mereka akan mengatakan bahwa dikhawatirkan keselamatannya dari pengejaran penguasa khilafah Abbasiyah yang senantiasa memantau pergerakan imam Hasan Askari dan keluarganya.

Menurut kepercayaan Syiah Imamiyah, Imam yang kedua belas sebenarnya mengalami peristiwa menghilang (Ghaib) sebanyak dua kali, yaitu ghaib gughra “pendek/singkat” dan ghaib kubra “lama/panjang”. Ghaib sughra dimulai sejak kelahirannya pada tahun 255 Hijri, dan berlanjut hingga tahun 329 Hijri. Sepanjang masa ini, meskipun ia ghaib di mata manusia, namun ia melalui sejumlah orang kanan/khas dapat berhubungan dan menjalin komunikasi yang baik dengan orang-orang Syiah, terutama untuk menjawab persoalan dan masalah agama ketika itu[22].

Orang kanan imam Ghaib yang menjadi wakil umat Syiah ada empat orang

– Pertama, Usman bin Sa’id. Dia adalah sahabat Imam Hadi dan Imam Hasan Askari yang terpercaya. Dia adalah salah satu orang yang dipertemukan atau diperlihatkan langsung baginya Imam Mahdi oleh Imam Hasan Askari yang berkata, “Setelah ini, kalian tidak akan melihatnya lagi dan di masa gaib, kalian harus patuh kepada Usman bin Sa’id karena dialah pengganti Imam kalian”.

– Kedua, Muhammad bin Usman Al-Umriy. Dia ditunjuk sebagai naib dari pihak yang suci setelah ayahnya. Usman bin Sa’id menjelang wafatnya mengatakan: “Setelahku, putraku, Muhammad, akan menjadi penggantiku dan naib Imam kalian. Niyabah-nya ‘kewakilannya’ telah didukung dan dibenarkan oleh Imam Mahdi as”.

– Ketiga, Husain bin Ruh. Muhammad bin Usman menjelang wafatnya mengenalkan Husain sebagai penggantinya dan Husain pun mendapat kepercayaan sebagai wakil dari Imam Mahdi. Kepada sahabatnya, Muhammad bin Usman mengatakan: “Aku telah diberi tugas oleh Imam Mahdi as untuk menunjuk Husain bin Ruh sebagai wakil dan merujuklah kepadanya dalam berbagai urusan agama”.

– Keempat, Ali bin Muhammad Samari. Dia adalah salah seorang tokoh terkenal dan ternama serta terpercaya di kalangan Syiah ketika itu. Husain bin Ruh, sebelum wafat, menunjuknya sebagai wakil dari pihak yang suci.

Dengan demikian Ali bin Muhammad Samari merupakan wakil khas Imam Mahdi yang terakhir.

Pada tahun 329 Hijri, Ali bin Muhammad Samari wafat. Sebelumnya, dia membacakan surat yang datang dari tempat yang suci untuk manusia. Di dalam surat tersebut tertulis:

“Enam hari lagi, ajalmu akan tiba. Urusi dan selesaikan semua pekerjaanmu. Namun, jangan engkau menunjuk wakil atau penggantimu. Sejak sekarang, keghaiban akan benar-benar sepenuhnya terjadi (dalam masa yang lama). Aku sendiri tidak akan muncul dan keluar dari keghaibanku. Selagi hati manusia belum beku dan bumi belum dipenuhi dengan kezaliman, Allah swt tidak akan mengizinkanku muncul. Sebelum syarat-syarat itu ada, siapa saja yang mengaku melihatku telah berdusta dan janganlah kalian percaya kepadanya”.

Periode gaib sughra dan niyabah ‘perwakilan’ wakil-wakil khas terus menerus berlanjut dalam masa 74 tahun. Oleh karena itu dalam masa Ghaib ini, golongan Syiah imamiah mengadakan hubungan dengan Imam Mahdi melalui para empat wakil-wakil di atas. Hikmah di sebalik adanya ghaib sughra yang memerlukan masa 74 tahun lamanya, bertujuan supaya pengikut Syiah mempersiapkan diri untuk menghadapi ghaib kubra yang begitu lama sehingga penantiannya akan berakhir masa-masa dekatnya hari kiamat.

Kedua peristiwa ghaib ini dilandasi oleh riwayat dari Ishaq bin Ammar mengatakan: “Dari Imam Ja’far Sadiq, aku mendengarnya menyatakan, “Al-Qaim mengalami dua keghaiban: gaib yang lama (panjang) dan lainnya singkat (pendek). Pada ghaib sughra, hanya orang-orang tertentu dari kalangan Syiah dan yang memiliki kepimpinan (wilayah) yang mengetahui keberadaan Imam Mahdi saat itu. Selain itu, tiada yang mengetahuinya”.

Beberapa keganjilan-keganjilan yang timbul dari alasan keselamatan hayat imam Mahdi yang dikemukakan oleh al-Tusi dan ulama Syiah lainnya, sebab beberapa hal perlu dipertimbangkan, yaitu: kalaulah benar telah disebutkan dalam berbagai kitab-kitab referensi utama mereka bahwa al-Mahdi merupakan seorang insan yang ditolong, dijaga dan dibantu, sebab ia dalam naungan dan lindungan Allah swt, tapi mengapa ia menjauhkan dan menyembunyikan diri dan tidak muncul di hadapan orang ramai?. Semestinya ia tidak bersembunyi dan justru sebaliknya lebih baik menzahirkan diri, sebab ia dalam penjagaan Allah swt.

Tentu keyakinan seperti ini akan membawa kesan bahwa imam Mahdi tidak komitmen dengan kepimpinannya sebagai pemimpin yang berani melindungi pengikutnya dari kejaran penguasa khilafah Abbasiyah, ia pemimpin yang takut dari keramaian dan massa serta menghindar dari berbagai kritikan dan cabaran yang dihadapi oleh pengikut Syiah saat itu. Di samping itu dalam keyakinan Syiah Imam Mahdi Syiah khawatir akan terbunuh sehingga menyembunyikan diri, akan memiliki konsekuensi gugur dan pupus imamahnya. Sebab, menurut Syiah, seorang imam haruslah manusia yang paling berani. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kitab Syiah bertajuk “AL-Anwar AL-Nu’maniyyah” bahwa: “Seorang imam memiliki beberapa tanda: ia adalah orang yang paling alim, paling bijak, paling bertakwa dan paling berani”[23].

Di samping itu, Syiah Imamiah membantah keras kepercayaan tentang imam Mahdi dari golongan-golongan selain Syiah Imamiah, seperti dakwaan Syiah Hashimiyyah bahwa Muhammad bin al-Hanafiah adalah imam Mahdi yang sebenar. Oleh karena itu dakwaan seperti ini merupakan pemikiran yang mengeksploitasi dan menghianati imam Mahdi yang sebenar yaitu imam kedua belas Muhammad bin Hasan al-Askari[24].

Apapun halnya, di antara kepercayaan Syiah Imamiah yang paling menonjol dan memenuhi lembaran-lembaran kitab mereka adalah akidah al-Mahdi al-Muntazhar. Akidah ini sering kali diiringi dengan berbagai khurafat dan kepercayaan yang menyimpang dan tidak diterima oleh golongan Ahli Sunnah wal Jamaah. Dan ide tentang kemunculannya di akhir zaman nanti telah tertanam kuat di dalam keyakinan Syiah imamiah, mereka telah bersiap sedia menanti kemunculannya dalam waktu dekat ini-menurut klaim mereka-, dan mereka berbicara mengenai kemunculannya pada beberapa ritual Syiah. Oleh karena itu tidak heran kalau semenjak ratusan tahun lepas, orang syiah di berbagai negara merayakan kelahiran imam Mahdi[25].

Dengan akidah ini mereka terus melanjutkan dakwah kesucian para imam, dan cara ini mereka dapat mengutip uang dari pengikut mereka sebanyak 1/5, dengan alasan ini adalah bagian imam al-Mahdi al-Muntazhar. Dan dengan cara ini mereka mengaku bahwa terjalin hubungan dengan ahlul bait. Mereka terpaksa menciptakan akidah yang jauh dari logika karena mereka telah membatasi kepemimpinan (imamah) hanya kepada keturunan Husain dan kepada beberapa orang tertentu sahaja. Akan tetapi pada tahun 260H mereka dikejutkan dengan kematian al-Hasan al-Askari -yang menurut kepercayaan mereka dia adalah imam yang kesebelas- tanpa meninggalkan keturunan, maka kematiannya ini membuat mereka terpecah dan tidak tentu arah. Dan menurut sejarawan syiah imamiyah yaitu imam al-Nawbakhti bahwa mereka terpecah menjadi empat belas kelompok, dan menurut al-Qummi mereka terpecah menjadi lima belas kelompok. Kedua tokoh ini, -al-Nawbakhti dan al-Qummi- adalah ulama syiah imamiah atau dikenal sebagai syiah “al-Rafidhah” yang telah menyaksikan terjadinya peristiwa ini, dan keduanya adalah pembesar mereka pada abad ketiga.

Dari sini dapat dipahami bahwa kematian imam al-Hasan al-Askari menjadikan Syiah Imamiah dan puak-puak selepasnya bertambah banyak dan semakin ramai, sebagaimana yang dinyatakan oleh tokoh sejarah syiah yaitu al-Mas’udi, ia menyebutkan bahwa syiah ketika itu berpecah sampai 20 puak[26]. Di antara pandangan mereka, ada yang mengatakan bahwa imam Hasan bin Ali al-Askari masih hidup, ia hanya gaib dari penglihatan mata dan tidak boleh mati serta tidak memiliki seorang pun anak[27]. Puak yang meyakini ini pada akhirnya mengatakan bahwa dialah yang akan dijadikan sebagai imam Mahdi di kemudian hari, dan ada yang mengatakan juga bahwa dia sebenarnya telah mati, dan akan dibangkitkan di kemudian hari untuk menjadi imam Mahdi. Syekh Ja’far Subhani -salah seorang ulama syiah imamiah kontemporer- menjulukinya sebagai (اَلْمُصْلِحُ الْعَالَمِيُّ), “Universal Reformer”, atau  yang bermakna (Pendamai Dunia) [28].               Oleh karena itu, terdapat beberapa misteri dalam perbincangan imam Mahdi versi Syiah Imamiah, di antaranya adalah: tarikh penentuan masa kelahirannya, hari, bulan dan tahun. Adanya perselisihan tentang umurnya tatkala ayahandanya wafat antara dua tahun ke delapan tahun. Perselisihan nama ibunya (Narjis, Shaqil, Raihanah, atau Susan). Di samping itu perselisihan tentang warna kulitnya antara putih dan hitam.

Dalam pandangan Syiah Imamiah, Imam Mahdi adalah “Muhammad bin Hasan al-‘Askari” dilahirkan pada malam Jumat, 15 Sya’ban 255 atau 256 H. Ayahandanya adalah Imam Hasan al-‘Askari adalah imam yang sebelas dalam salasilah imam 12, dan ibunda nya—menurut beberapa riwayat—bernama Narjis, Shaqil, Raihanah, atau Susan. Akan tetapi, beragamnya nama yang dimiliki oleh ibundanya ini tidak mengindikasikan keberagaman diri sebagai seorang wanita. Karena, boleh sahaja dan mungkin ibunya  memiliki nama yang banyak atau beragam[29]. Sementara Syekh Ja’far Subhani memilih bahwa nama asal ibunda imam mahdi adalah Narjis[30].

Narjis dilahirkan di Samirra`, sebuah kota besar di Irak dan pada masa khilafah Bani Abbasiah, kota tersebut pernah menjadi ibu negara kerajaan. Namun yang unik adalah imam Hasan al-Askari sebagai ayah dari imam Mahdi menyembunyikan kelahiran putranya dari manusia sehingga mereka jatuh dalam keraguan dan kebimbangan di sekeliling.

Bagi syiah, kelahiran imam Mahdi “Muhammad Hasan al-‘Askari” tidak dapat dinafikan oleh sesiapa, ianya sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Di antara riwayat asas yang mengesahkan kelahiran dan kewujudan imam Mahdi adalah keterangan dari Imam Ja’far al-Sadiq berkata: “Tidak akan meninggal dunia salah seorang dari kami kecuali ia akan meninggalkan seseorang yang akan meneruskan misinya, berjalan di atas sunnahnya dan melanjutkan dakwahnya” [31].

Sebenar kisah lengkap kelahiran imam Mahdi dalam pandangan syiah Imamiah diceritakan oleh Sayyidah Hakimah binti Imam Muhammad al-Jawad bercerita, bahwa:

“Abu Muhammad Hasan bin Ali (al-‘Askari) datang ke rumahku seraya berkata: “Wahai tanteku, berbuka puasalah di rumah kami malam ini. Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban. Allah Ta’ala akan menampakkan hujjah-Nya di atas bumi pada malam ini.” “Siapakah ibunya?”, tanyaku “Narjis”, jawabnya singkat. “Sepertinya ia tidak memiliki tanda-tanda kehamilan?”, tanyaku lagi. “Hal itu akan terjadi seperti yang telah kukatakan”, katanya menimpali.

Setelah sampai di rumahnya, kuucapkan salam dan duduk. Tidak lama Narjis datang menemuiku untuk melepaskan sliparku seraya berkata: “Wahai junjunganku, izinkanlah kulepaskan slipar Anda”. Tidak! Engkaulah junjunganku. Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan engkau melepaskan sliparku dan berkhidmat kepadaku. Seharusnya akulah yang harus berkhidmat kepadamu”, tegasku. Abu Muhammad mendengar ucapanku itu. Ia berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai tanteku.”

Kukatakan kepada Narjis: “Pada malam ini Allah akan menganugerahkan kepadamu seorang putra yang akan menjadikan junjungan di dunia dan akhirat.” Ia duduk sambil menahan malu.

Setelah selesai mengerjakan salat Isya`, aku berbuka puasa dan setelah itu, pergi ke tempat tidur. Ketika pertengahan malam tiba, aku bangun untuk mengerjakan shalat. Setelah aku selesai mengerjakan shalat, Narjis masih tertidur pulas dan tidak ada kejadian khusus terhadap dirinya. Akhirnya aku duduk-duduk sambil membaca wirid. Setelah itu, aku terbaring hingga tertidur pulas. Tidak lama kemudian, aku terbangun dalam keadaan tertegun, sedangkan ia masih tertidur pulas. Tidak lama berselang, ia terbangun dari tidurnya dalam keadaan ketakutan. Ia keluar untuk berwudu. Ia kembali ke kamar dan mengerjakan shalat. Ketika ia sedang mengerjakan rakaat witir, aku merasa bahwa fajar sudah mulai menyingsing. Aku keluar untuk melihat fajar. Ya, fajar pertama telah menyingsing. (Melihat tidak ada tanda-tanda ia akan melahirkan), keraguan terhadap janji Abu Muhammad mulai merasuki kalbuku. Tiba-tiba Abu Muhammad menegurku dari kamarnya: “Janganlah terburu-buru wahai tanteku. Karena janji itu telah dekat.” Aku merasa malu kepadanya atas keraguan yang telah menghantuiku. Di saat aku sedang kembali ke kamar, Narjis telah selesai mengerjakan shalat. Ia keluar dari kamar dalam keadaan ketakutan, dan aku menjumpainya di ambang pintu. “Apakah engkau merasakan sesuatu?”, tanyaku. “Ya, tanteku. Aku merasakan berat sekali”, jawabnya. “Ingatlah Allah selalu. fokuskan pikiranmu. Hal itu seperti yang telah kukatakan padamu. Engkau tidak perlu takut”, kataku menguatkannya.

Lalu, aku mengambil sebuah bantal dan kuletakkannya di tengah-tengah kamar. Kududukkannya di atasnya dan aku duduk di hadapannya layaknya seorang wanita yang sedang menangani seseorang yang ingin melahirkan. Ia memegang telapak tanganku dan menekannya sekuat tenaga. Ia menjerit karena kesakitan dan membaca dua kalimat syahadah. Abu Muhammad berkata dari balik kamar: “Bacalah surah al-Qadr untuknya.” Aku mulai membacanya dan bayi yang masih berada di dalam perut itu menirukan bacaanku. Aku ketakutan terhadap apa yang kudengar. Abu Muhammad berkata lagi: “Janganlah merasa heran terhadap urusan Allah. Sesungguhnya Allah membuat kami berbicara dengan hikmah pada waktu kami masih kecil dan menjadikan kami hujjah di atas bumi-Nya ketika kami sudah besar.”

Belum selesai ucapannya, tirai cahaya menutupiku untuk dapat melihatnya. Aku berlari menuju Abu Muhammad sambil menjerit. “Kembalilah wahai tanteku. Engkau akan mendapatkannya masih di tempatnya”, katanya padaku.

Aku kembali. Tidak lama kemudian, tirai cahaya itu tersingkap. Tiba-tiba aku melihatnya dengan sekumpulan cahaya yang menyilaukan mataku. Kulihat wali Allah dalam kondisi sujud. Di lengan kanannya tertulis: “Telah datang kebenaran dan sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan telah sirna”. Ia berkata dalam keadaan sujud: “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, kakekku Muhammad adalah Rasulullah, dan ayahku Amirul Mukminin wali Allah.” Selanjutnya ia menyebutkan nama para imam satu-persatu hingga sampai pada dirinya. Kemudian, ia berdoa: “Ya Allah, wujudkanlah untukku apa yang telah Kau janjikan padaku, sempurnakanlah urusanku, kokohkanlah langkahku, dan penuhilah bumi ini karenaku dengan keadilan.” Setelah itu, ia mengangkat kepalanya seraya membaca ayat, “Allah bersaksi dalam keadaan menegakkan keadilan bahwa tiada tuhan selain-Nya, dan begitu juga para malaikat dan orang-orang yang diberi ilmu. Tiada tuhan selain Ia yang Maha Perkasa dan Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam”. (QS. Ali ‘Imran : 18-19) Kemudian, ia bersin. Ia berkata: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga Allah mencurahkan shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Orang-orang zalim menyangka bahwa hujjah Allah telah sirna.”

Aku menggendongnya dan mendudukkannya di pangkuanku. Sungguh anak yang bersih dan suci. Abu Muhammad berkata: “Bawalah putraku kemari wahai tanteku.” Aku membawanya kepadanya. Ia menggendongnya seraya memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya dan mengelus-elus kepala, kedua mata, telinga dan seluruh sikunya. Lalu, ia berkata kepadanya: “Berbicaralah wahai putraku.” Ia membaca dua kalimat syahadah dan mengucapkan shalawat untuk Rasulullah dan para imam satu-persatu. Setelah sampai di nama ayahnya ia diam sejenak. Ia memohon perlindungan dari setan yang terkutuk seraya membaca ayat: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan Kami akan memberikan anugerah kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, menjadikan mereka para pemimpin dan para pewaris. Dan Kami akan menjayakan mereka di muka bumi dan memperlihatkan kepada Firaun, Haman dan bala tentara mereka apa yang mereka takutkan.”

Setelah itu, Abu Muhammad memberikannya kepadaku kembali seraya berkata: “Wahai tanteku, kembalikanlah kepada ibundanya supaya ia berbahagia dan tidak susah. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Akan tetapi, mayoritas umat manusia tidak mengetahui”. Kukembalikan ia kepada ibunya dan fajar telang menyingsing waktu itu. Setelah mengerjakan shalat Subuh, aku mohon diri kepadanya[32].

Apapun halnya, golongan Ahli Sunnah wal Jamaah, membantah imam Mahdi versi Syiah, sebagaimana bantahan imam ibnu Kathir dalam kitabnya “al-Fitan Wa al-Malahim” ia berkata: ”Masalah imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman, yang merupakan salah seorang dari khalifah-khalifah yang lurus dan imam-imam yang mendapatkan petunjuk. Dia bukanlah imam Mahdi nya golongan Syiah yang mereka harap akan muncul dari gua Saamirra. Karena semua itu tidak sesuai dengan realitas, tidak terlihat wujudnya tidak ada pula tanda-tandanya. Mereka menganggap imam Mahdi itu adalah Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang masuk ke gua. Kemudian beliau berkata juga: ”al-Mahdi akan keluar dari arah Masyriq, bukan dari gua samirra seperti anggapan orang-orang bodoh dari kalangan Rafidah (Syiah Imammyah Itsna ‘Asyariah), yang menganggapnya sudah ada sekarang dan mereka terus menunggu keluarnya di akhir zaman. Sungguh ini adalah sebuah omong kosong dan kerendahan yang dilemparkan oleh setan. Karena tidak ada dalil, tidak ada bukti, tidak dari kitab al-Quran dan Sunnah, tidak dari akal yang sehat dan tidak pula dari Istihsan” [33]. Bantahan yang sama kepada Syiah oleh Imam al-Safarayani: “Adapun anggapan Syiah yang mengatakan bahwa namanya Muhammad bin al-Hasan, yakni Muhammad bin al-Hasan al-Askari maka itu hanyalah omong kosong karena Muhammad bin Al-Hasan telah mati dan warisan bapaknya telah diambil oleh pamannya Ja’far” [34]. Ibnu al-Qayyim ikut mengkritik dengan mengatakan: ”Sungguh mereka telah menjadikan diri mereka bahan tertawaan manusia, dan menjadi cemoohan orang yang berakal” [35].

Namun perlu juga disebutkan bahwa masalah munculnya imam Mahdi Syiah di satu tempat bernama Saamirra, Sardab, di negara Irak, telah dibantah dan dinafikan oleh ulama Syiah, sebab ini hanyalah sebuah tempat persinggahan imam Mahdi ketika dalam detik-detik akan Ghaib dari penglihatan manusia, dan buka berarti di situ juga akan kembali dimunculkan.  Tempat ini bagi Syiah dianggap salah satu tempat yang suci, sebab pernah didiami dan bermukim di dalamnya tiga imam Syiah, yaitu imam Ali al-Hadi (Imam kesepuluh), imam Hasan Askari (Imam kesebelas) dan imam Muhammad Hasa Askari (Imam kedua belas sebagai imam Mahdi). Di samping itu di tempat inilah masa-masa kecil imam Mahdi sebelum peristiwa al-Ghaibah[36].

Dalam keadaan imam kedua belas menghilang (Al-Ghaibah), maka semenjak itu hingga saat ini imamah berkelanjutan melalui sebuah konsep imamah yang dikenal dengan “Wilayah al-Faqih”, ini merupakan konsep terbaru dari golongan Syiah Imamiyah di Iran, sebagai al­ternatif dari Imam yang menghilang dari pandangan mata manusia (imam al-Gha’ib), akibat se­rangan-serangan yang dilancarkan kepada mereka. Sebab salah satu ajaran asas dalam Syiah adalah meng­akui adanya Imam pada setiap masa, yang tugasnya memecahkan segala persoalan umat. Namun karena imam tersebut tidak muncul juga, dan justru akan muncul di akhir zaman, maka dimunculkanlah sistem “wilayah al-Faqih”.  Bagi mereka konsep ini berlandaskan kepada pesanan langsung imam Mahdi sendiri kepada wakilnya yang kedua yaitu Muhammad bin Utsman Al-Umriy, wasiat tersebut disebutkan dalam kitab “Bihar Al-Anwar” dan kitab “Wasail Al-Syiah”, berbunyi:

وَأَمَّا الْحَوَادِثُ الْوَاقِعَةُ فَارْجِعُوْا فِيْهَا إِلَى رُوَّاةِ حَدِيْثِنَا، فَإِنَّهُمْ حُجَّتِي عَلَيْكُمْ وَأَنَا حُجَّةُ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Dan adapun kejadian yang terjadi (di saat Ghaibah) , maka kembalilah kepada marja’ para perawi hadis kami, karena mereka adalah hujjahku untuk kalian dan saya adalah hujjahnya Allah” [37].

Sekretariat Dewan Perlindungan Undang-undang Iran, Ayatollah Ahmad Jannati, mengatakan bahwa negaranya (Iran) membuka jalan bagi kemunculan Imam al-Mahdi yang dinantikan. Ia menekankan perlunya mempersiapkan diri untuk mematuhi perintahnya. Jannati menambahkan dalam pertemuan kenegaraan yang dilaporkan oleh “Iranian Students’ News Agency” yang disingkat dengan “ISNA”, berpusat di Teheran, Iran, pada hari Isnen (03/03/14), “Al-Mahdi tidak pernah berpisah dari rekan-rekan dan pendukungnya. Kita harus menunggu kemunculannya” . sementara perwakilan Waliyyul Faqih di Garda Revolusi Iran, Muhammad Sa’idy, belakangan ini mengatakan: “Sekarang waktu persiapan lokal, regional dan internasional. Karena waktu kemunculan Imam al-Mahdi sudah dekat” tutur Sa’idy[38].

Berkaitan dengan teori Wilayah al-Faqih ini, sebenarnya Syiah Imamiyah sendiri berbeda pendapat tentang kewujudannya. Dalam artian sebagian ulama Syiah tidak mengakui keabsahan teori tersebut, seperti syekh Murtaza al-Ansari dan syekh al-Sayyid al-Khuu’i, kedua ulama syiah ini terkenal menantang, mencabar dan mengingkari Wilayah al-Faqih, justru mereka sangat loyal menunggu kehadiran imam ghaib. Oleh karena itu ada hal yang menarik dicermati bahwa sebenarnya penubuhan konsep tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk kritikan terhadap konsep Imam al-Mahdi al-Muntazar yang tak muncul-muncul sampai saat ini. Sebab peranan Imam Ma’sum yang ghaib ini tidaklah mudah dan sangat esensial, yaitu: menegakkan hudud dan memungut zakat. Bahkan  yang sangat bermasalah lagi kalau sebahagian penganut pahaman syiah Imamiyah merasa tidak wajib melaksanakan shalat Jumat karena ketidakhadiran imam al-Ghaib al-Muntazar. Jadi hal inilah yang dikhawatirkan oleh Imam Khumaini sehingga membela mati-matian konsep “wilayah al-Faqih” dalam berbagai buku karyanya, dan khususnya “al-Hukumah al-Islamiyah”. (dakwatuna.com/hdn)

— Selesai.

Catatan Kaki:

[1] Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqaalat Al-Islamiyyin, 1/97.

[2] Ibnu Kathir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 8/290.

[3] Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqaalat Al-Islamiyyin, 1/86. Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq Baina Al-Firaq, 234.

[4] Lihat : Kamaluddin Nurdin, Agenda Politik Syiah, 48-51, Pts, Malaysia 2013.

[5] Al-Shahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 171-73.

[6] Al-Maliti, 1968, AL-Tanbih wa AL-Rad Ala Ahlil Hawa wal Bid’ah, 19, Kaherah, Matba’ah Al-Sa’adah.

[7] Al-Shahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 174-75.

[8] Yahya bin Hamzah, 2009, Aqdullaaliu fi AL-Rad Ala Abi Hamid Al-Ghazali, Kaherah, Darul Aafaq Al-Arabiah, 168.

[9] Detail sila lihat Tesis PhD penulis, Mauqif Al-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min Al-Akidah Al-Ismailiyah wa Falsafatuha. Darul Kutub Ilmiah Beirut-Lebanon, 2009.

[10] Yahya bin Ismail Al-Syajari, AL-Amaali AL-Khumaisiyyah, 253-260, Alam Al-Kutub, Beirut-Lebanon.

[11] Ali bin Husen AL-Zaidiy, Al-Muhit bi Al-Imamah, 55.

[12] Ibnu Ahmad AL-Fasi, Al-‘Iqdu Al-Tsamin, 225.

[13] Al-Muzhaffar, asyi-Syi’ah al-Imamiyyah, hal 7.

[14]  Mughniyah, al-Itsna Asyariyyah Wa Ahli al-Bayt, hal 15, Dar al-Jawad-Dar at-Tayyar al-Jadid, Beirut, cet 4, 1404 H.

[15] Ayatullah as-Sayyid Abdul Husain dastaghib, 1988 M,

[16] lih, Asy-Syaikh Abdullah Ni’mah, 1985 M, Ruh at-Tasyayyu’, hal 182, Beirut, Darul Fikr al-Lubnani.

[17] Adapun Syiah Zaidiyah, Imamah adalah sebuah kepemimpinan umum dengan ketentuan syari’at untuk individu yang tertentu dalam berbagai perkara agama dan dunia dengan catatan jangan sampai dia melakukan kezaliman. Berkaitan dengan definisi ini, imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha berpendapat: “imamah adalah kepemimpinan umum untuk individu tertentu dengan ketetapan syari’at yang tidak mengandung unsur kezaliman”[17]. Sedangkan definisi yang diberikan oleh imam al-Qasim bin Muhammad adalah: “kepemimpinan umum dengan ketetapan syari’at untuk seorang laki-laki yang tidak memiliki kezaliman kepada seorangpun”. Orang laki-laki harus berasal dari keturunan ahlul bait, dan lebih tepatnya harus berasal dari keturunan Hasan dan Husain. Definisi ini boleh dikatakan sebagai definisi yang disepakati oleh para ulama Syiah Zaidiyah, sebagaimana yang diisyaratkan imam Humaidan bin Yahya dengan ucapannya mengenai hakikat imam, dia berkata: “iaitu seorang individu yang lengkap (sempurna) untuk memimpin manusia dalam agama dan dunia dalam bentuk yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi darinya, sebagaimana yang dikatakan oleh para imam kita –imam-imam Zaidiyah-alaihissalam”. Jadi menurut mereka imam yang legal adalah yang ditetapkan oleh syari’ah untuk menepikan semua jenis kepemimpinan yang lain yang berdiri berdasarkan kekerasan, paksaan, dan dasar pilihan bagi orang yang sebenarnya tidak berhak mendapatkannya. Oleh karena itu, imamah harus diberikan kepada individu yang tertentu yang berasal dari keturunan ahlul bait yang memenuhi semua persyaratannya. Dan syi’ah zaidiyah membatasi kewajiban rakyat terhadap imamnya terhadap perkara-perkara agama dan dunia yang berkaitan dengan kepentingan rakyat, seperti jihad, wilayah, hukuman, dan perkara zakat, sedangkan hal yang berkaitan dengan perkara agama dan dunia secara syar’i  tidak masuk ke dalam kapasitasnya (kekuasaannya). Dari sini, menurut Syiah Zaidiyah seorang imam tidak boleh turun dari tahtanya jika dia mendapati di antara rakyatnya ada orang-orang yang mau membantunya untuk melaksanakan perintah Allah dan berjihad bersamanya. Sedangkan jika dia tidak mendapati di antara rakyatnya yang mau membantunya melaksanakan perintah Allah dan berjihad bersamanya di jalan Allah maka dia boleh melepaskan jabatannya, sebagaimana sikap yang telah diambil oleh Ali as untuk tidak menuntut kekhilafahan setelah kematian Rasulullah saw Meskipun jawatan itu adalah haknya. Begitu juga yang telah dilakukan oleh anaknya, Hasan bin Ali as, manakala para sahabatnya mengkhianatinya dan mengecewakannya, maka dia tinggalkan mereka dan dia serahkan jawatan kepada Mu’awiyah. Begitu juga yang telah dilakukan oleh al-Qasim bin Ibrahim yang telah dibay’at, dan orang-orang telah mengelilinginya, kemudian dia saksikan kegagalan mereka dan dia memiliki keyakinan bahwa dia tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka dia lepaskan jawatannya; karena perkara ini tidak akan dapat berhasil tanpa bantuan para penolong dan pendukung, jika mereka tidak mendukungnya maka gugur kewajibannya untuk menjadi imam.  Untuk detail sila rujuk buku penulis “Agenda Politik Syiah”, PTS Millennia, 2013.

[18] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, bab Da’aim al-Islam, 2/54.

[19] Ushul al-Kafi, bab “Annal ardha la takhlu min hujjah”, 1/201.

[20] Al-Muzhaffar Muhammad Ridha, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 66.

[21] Al-Tusi, Al-Ghaibah, hal: 99.

[22] Ayatullah Al-Sayyid Muhammad Al-Sadr, Mausuu’ah Al-Imam Al-Mahdi, Dar AL-Ta’aruf, Beirut-Lebanon.

[23] Ni’matullah Al-Jazairi, Al-Anwar Al-Nu’maniyyah, hal: 99.

[24] Muhamad Muhdi Al-Musawi Al-Khalkhali, 1994, Baqiyatullah, 147, Dar Al-Nubalaa, Beirut-Lebanon.

[25] Al-Sayyid Kadzim al-Qazawaini, Al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 111.

[26] Lihat: Muruj al-Zahab, 4/190.

[27] Lihat: al-Nubakhti, Firaq al-Syiah, hal 96.

[28] Ja’far Subhani, Al-Akidah Al-Islamiah ‘Ala Dau’I Madrasah Ahlil Bait, , hal 212, Qum.

[29] Tafsir al-Alusi, 6/315.

[30] Al-Akidah Al-Islamiah ‘Ala Dau’I Madrasah Ahlil Bait, Ja’far Subhani, hal 213, Qum.

[31] Usul al-Kafi, 1/397.

[32] Al-Sayyid Kadzim al-Qazawaini, Al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 136-140.

[33] Ibnu Kathir, al-Fitan Wa al-Malahim, 1/29.

[34] Al-Safarani, Lawami’ al-Anwar, 2/84.

[35] Ibu al-Qayyim, al-Manar al-Munif, 151-152.

[36] Lihat, Salem al-Saffar al-Najafi, 2008, Mausuu’ah al-Imam al-Mahdi, 1/431-560, Dar Nadzim,

[37]AL-Majlisi, Bihar Al-Anwar, 2/90. Wasail Al-Syiah, 27/150.

[38] http://www.isna.ir/page/archive.xhtml?lang=en&date=2015%2F03%2F03

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/12/30/84510/imam-mahdi-perspektif-aliran-aliran-syiah-bagian-2/#ixzz4Y0XrIHLt

Imam Mahdi dari Perspektif Aliran-Aliran Syiah (Bagian ke-1)

Konsep imam Mahdi merupakan salah satu perbincangan Syiah dalam bab Imamah (kepimpinan dan politik), dan konsep ini merupakan akhir dari perjalanan pembahasan Imamah Duniawi dalam akidah Syiah. Oleh karena itu sebelum membincangkan konsep imam Mahdi dalam ideologi Syiah, maka ada baiknya kalau mengenal terlebih dahulu konsep Imamah Syiah secara keseluruhan.

Dalam tulisan penulis sebelumnya yang bertajuk “Agenda Politik Syiah” PTS Millennia 2013, telah didedahkan bahwa Imamah merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah pecah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab, dan konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi Saw didasarkan pada suksesi politik untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah Syiah politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan Sunni adalah (al-Khilafah), dan zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (al-Riasah). Dalam pandangan politik Syiah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, tetapi ianya adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar prinsip agama (Arkan al-Din) di mana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah, oleh karena itu Imam Ali merupakan pelanjut Nabi Saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi Saw (bukannya Abu Bakar), dan para Imam setara dan sebanding dengan kedudukan Nabi Saw, berdasarkan pandangan dan asumsi di atas Syiah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bayt saja.

Pada dasarnya konsep politik Ahlu Sunnah didasari oleh tiga hal, yaitu dengan cara  pemilihan (ikhtiar) yang dibangun di atas syura, Ijma’ dan  bay’ah. Adapun konsep politik Syiah dilandaskan oleh penentuan yang dalam istilah Syiah selalu disebut sebagai “Nash”, di samping itu penyifatan ‘Ishmah atau kemaksuman seorang imam tidak dapat dipisahkan dengan Imamah (kepimpinan Syiah). Di sisi lain Sunni menyerukan suksesi berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi dalam memilih kelayakan seorang pemimpin atau presiden.

Oleh karena itu, kepentingan Imamah dalam Syiah amat tinggi dan jauh berbeda dengan wacana kepimpinan dalam Ahli Sunnah wal Jamaah, karena segala sesuatu di dunia ini mereka kembalikan kepada imamah dan berbagai perangkatnya. Oleh karena itu, mereka jadikan imamah sebagai dasar akidah mereka. Sedangkan ahlu sunnah menjadikan imamah sebagai bagian masalah furu’iyyah berdasarkan dalil-dalil yang ada.

Berdasarkan hal ini, maka para ulama ilmu kalam terpaksa memasukkan materi “imamah” dalam kitab akidah atau yang dikenal dengan ilmu ushuluddin sebagai reaksi terhadap tindakan Syiah yang menjadikannya sebagai salah satu persoalan agama yang paling penting, sampai mereka memasukkannya sebagai salah satu rukun imam. Hal ini telah disinyalir oleh imam Shalih al-Muqbali dengan ucapannya, “ imamah adalah masalah fiqhiyyah, akan tetapi para ulama kalam telah memasukkannya ke dalam pembahasan mereka akibat besarnya polemik antara mereka (Syiah dan Sunni), sebagaimana halnya sebagian ulama asy’ariyyah telah menjadikan persoalan membasuh di atas kasut sebagai salah satu masalah ilmu kalam”[1].

Pelantikan seorang imam menurut pandangan asy’ariyah adalah suatu perkara yang wajib secara tekstual agama (sam’i), sedangkan menurut zaidiyah dan mu’tazilah adalah suatu kewajiban secara logik (akli), dan menurut imamiah serta isma’iliyah pelantikannya adalah suatu kewajiban bagi Allah. Sedangkan kelompok khawarij berpendapat bahwa pelantikannya sama sekali tidak diwajibkan, namun imamiah mewajibkannya demi menjaga berbagai undang-undang syariat dari perubahan yang disebabkan oleh adanya penambahan dan pengurangan, dan isma’iliyah mewajibkannya demi mengenalkan Allah dan sifat-sifat-Nya, yang artinya, menurut pendapat mereka bahwa kewajiban adanya seorang imam bertujuan untuk mengenal Allah melalui para imam[2].

Sebenarnya secara realitasnya, imamah adalah batu fondasi dalam seluruh aliran Syiah – Syiah zaidiyah, Syiah imamiah, dan Syiah isma’iliyah bathiniah-. Mereka semua sepakat menjadikannya sebagai salah satu dasar agama[3]. Dan syaikh al-Mufid –seorang ulama besar imamiyah- berpendapat bahwa manakala imamah menjadi kaidah yang utama dan rukun bagi aliran Syiah, maka zaidiyah masuk ke dalam golongan Syiah, karena zaidiyah memiliki dasar yang sama[4].

Ini adalah sebuah statement yang benar, sebagaimana yang telah diungkapkan secara terang-terangan oleh para ulama Syiah zaidiyah dalam berbagai kitab mereka yang berbeda. Misalnya, perkataan imam al-Husain bin al-Qasim al-Iyani az-Zaydi: “sesungguhnya imamah adalah suatu fardhu  dari Allah yang tidak ada seorang pun yang mampu untuk tidak memedulikannya”[5].   Dan imam Ahmad bin al-Hasan ar-Rashshash az-Zaidi juga berkata: “sesungguhnya imamah adalah salah satu dasar agama yang penting yang wajib diketahui oleh semua orang mukalaf”[6].  Dan imam Humaidan bin Yahya az-Zaidi berkata: “sesungguhnya mengetahui berbagai perkara imamah termasuk dasar agama yang diwajibkan yang jika diabaikan berhak untuk diberikan dosa dan siksaan. Maka orang yang mengaku dirinya sebagai Syiah mempunyai dua pilihan, mengakui apa yang telah disepakati dan mengakui kebenarannya, atau tidak, jika dia mengingkarinya atau menakwilkannya maka dia bukanlah orang Syiah”[7].

Sedangkan imam Abul Qasim Muhammad bin al-Hutsi, penganut Syiah zaidiyah modern berkata dalam penghujung kitabnya “al-Maw’izhah al-Hasanah, setelah dia sebutkan semua masalah ushuluddin dan di antaranya adalah imamah: “maka ini adalah tiga puluh masalah dasar agama sesuai dengan kaidah moyang kita ahlul bait, maka harus diterima dengan penuh keyakinan, dan tidak boleh hanya sekedar mengikut kepada seorang mukalaf dalam masalah ini”[8].

Di antara bukti-bukti teks ucapan Syiah imamiyah yang menunjukkan bahwa imamah masuk ke dalam dasar agama adalah perkataan Ibnu al-Muthahhir al-Hulli al-Imami[9] dalam mukaddimah kitabnya “Minhaj al-Karamah”: “ amma ba’du, maka ini adalah sebuah risalah yang mulia, dan maqalah yang lembut, yang mencakup beberapa unsur yang paling penting dalam dasar agama, dan yang paling mulia di antara berbagai permasalahan kaum muslimin. Yaitu masalah imamah yang terbentuk dengan sebab dia mencapai derajat yang mulia, yang merupakan salah satu rukun iman, yang karena sebabnya orang yang memiliki hak untuk menjadi imam akan kekal berada di surga dan terbebas dari kemurkaan Yang Maha Pengasih”[10].

Sedangkan seorang ulama Syiah imamiah modern syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar berkata: “ kami memiliki keyakinan bahwa imamah termasuk salah satu dasar agama, yang keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan meyakininya”[11].

Sedangkan teks ucapan Syiah Isma’iliyah bathiniah yang berkaitan dengan imamah adalah sebagaimana yang dipetik dari perkataan seorang pendakwahnya Hamiduddin  al-Karamani al-Bathini, yaitu: “sesungguhnya imamah adalah salah satu dasar Islam, dan dia adalah dasar yang paling mulia dan paling afdhal, sehingga dasar ini tidak akan dapat sempurna tanpanya”[12].

Bagaimanapun juga, maka sesungguhnya imamah menurut aliran Syiah bukan sebuah permasalahan maslahat yang tunduk dengan pilihan dan aspirasi umum. Akan tetapi dia adalah sebuah permasalahan dasar dalam agama (ushuli), yang masuk ke dalam salah satu rukun agama, yang tidak boleh diabaikan dan diacuhkan oleh Rasulullah saw, atau diserahkan pemilihannya kepada masyarakat umum. Oleh karena itu, maka syarat untuk bergabung kepada aliran Syiah adalah berkeyakinan bahwa imamah merupakan bagian dari dasar agama.

Berdasarkan hal ini, Syiah memberikan perhatian yang besar bagi permasalahan imamah. Dan berbicara panjang lebar mengenainya, dan semua aliran dan kelompok Syiah yang berbeda memberikan perhatian yang besar kepadanya[13].

Hasilnya adalah, mereka membuktikan di hadapan semua manusia dan dengan cara yang tidak langsung bahwa imamah adalah warisan khusus untuk ahlul bait atau keluarga Nabi saw, maka orang yang selain mereka ini tidak boleh menjadi imam bagi umat Islam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan imam Ahmad bin Yahya al-Husain az-Zaydi[14]: “..kemudian Allah Azza wa Jalla memilih ahlul bait, dan Dia jadikan kepemimpinan dan politik untuk mereka”[15].

Dengan statement ini menjadi jelas bagi kita bahwa aliran Syiah dengan berbagai perbedaan aliran dan kelompoknya telah bersepakat bahwa Nabi saw telah memilih Ali ra untuk menjadi penggantinya setelah beliau meninggal dunia. Dan Nisywan al-Humyari az-Zaydi memberitahukan kita mengenai konsensus aliran Syiah ini: “semua Syiah berpendapat  bahwa sesungguhnya Ali as adalah orang yang paling utama menempati posisi Rasulullah saw setelah kematiannya. Dialah orang yang paling berhak terhadap imamah dan menjadi pemimpin untuk umatnya”[16].

Hal ini juga telah diisyaratkan oleh asy-Syahrastani al-Asy’ari ketika dia memberikan definisi Syiah: “ orang-orang yang mendukung Ali ra secara khusus, dan mereka mengakui keimamahannya dan kekhilafahannya baik secara teks ataupun secara ucapan, secara terang-terangan ataupun secara tersembunyi”[17].

Teks yang menunjukkan tentang penunjukan Ali ra untuk memegang tampuk imamah adalah yang dipaparkan dalam peristiwa Ghadir Kham, yaitu pada sebuah hadits yang mereka nisbahkan kepada Rasulullah saw yang berkaitan dengan perkara Ali bin Abi Thalib ra: “ tidakkah kalian mengetahui bahwa aku lebih utama bagi orang mukmin dari diri mereka sendiri? Mereka menjawab: iya. Beliau kembali bersabda: barang siapa yang menganggap aku sebagai tuannya maka Ali juga adalah tuannya. Ya Allah tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya, bantulah orang yang menolongnya, kecewakanlah orang yang mengecewakannya, dan iringilah kebenaran bersamanya ke manapun dia pergi”[18].

Imam Yahya bin Hamzah az-Zaydy mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan imamah Ali bin Abi Thalib merupakan dalil yang qath’i, yang kebenarannya mutlak sah, dan tidak masuk ke dalam permasalahan ijtihad, sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang. Maka barang siapa yang menyalahinya tidak diragukan lagi bahwa dia telah bersalah, karena dia telah menyalahi dalil yang qath’i[19].

Akan tetapi, sebenarnya jika kita teliti dan selidiki apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw pada peristiwa hajjatul wada’, maka dapat kita lihat dengan jelas bahwa beliau sama sekali tidak menyebut perkara yang berkaitan dengan kekhilafahan. Sesungguhnya yang beliau sebutkan adalah keutamaan amirul mukminin Ali ra, karena sebab jasanya kepada kaum muslimin. Oleh karena itu, Syiah tidak cukup hanya berpegang dalil kepada peristiwa Ghadir Kham untuk menunjukkan keimamahan imam Ali, akan tetapi mereka – dengan semua aliran mereka meskipun mereka saling berselisih pendapat dan memiliki akidah yang saling berbeda- sama-sama bersandarkan kepada ayat-ayat al-Quran untuk menguatkan keyakinan mereka mengenai kewajiban untuk menjadikan Ali ra dan keturunannya sebagai khalifah. Di antaranya adalah firman Allah swt: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (QS. Al-Ma`idah: 55). Dan juga firman-Nya: “taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. an-Nisaa: 59).

Mereka berkata: sesungguhnya yang dimaksud dengan “ulil Amri” adalah para imam dan keturunan mereka yang berasal dari Ali ra[20].

Berdasarkan ini, maka faktor yang menyatukan mereka adalah keyakinan bahwa imam Ali dan kedua anaknya, Hasan dan Husain adalah para imam. Sedangkan mengenai para imam yang setelahnya mereka saling berselisih pendapat. Oleh karena itu, setiap golongan Syiah zaidiyah, imamiyah, dan isma’iliyah saling berusaha membuktikan bahwa yang berhak memegang imamah adalah imam kelompok mereka. Maka mereka memberikan perhatian yang sangat besar dalam permasalahan imamah ini sampai mereka jadikan hal ini sebagai dasar agama yang paling utama.

Guru saya, DR. Hasan al-Syafi’i[21]  menyebutkan dalam suatu isyarat yang ringkas bahwa Syiah tidak hanya saling berselisih pendapat dalam jumlah para imam serta penetapan keturunan mereka saja, akan tetapi juga mengenai tugas imam itu sendiri. Menurut Syiah imamiyah, imam adalah pelaksana syariat jika dia memiliki kekuasaan, dan jalan untuk mencapai ilmu mengenai hukum-hukumnya dengan hukum ‘ishmah, dan tidak ada lapangan untuk berijithad ketika imam sudah muncul. Sedangkan menurut Syiah isma’iliyah, imam adalah jalan untuk mengetahui syariat, dan orang yang memiliki hak untuk melaksanakan hukum-hukumnya. Dan di samping itu dia juga memiliki tugas untuk mengurus dunia, karena urusan dunia tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpanya. Sedangkan Syiah zaidiyah berpendapat bahwa tugas imam adalah hanya melaksanakan hukum-hukum syariat saja, dan pengetahuannya mengenai hukum-hukum syariat sama seperti pengetahuan mujtahid yang lain. Dan dengan pendapatnya ini Syiah zaidiyah memiliki titik persamaan dengan ahli sunnah[22].

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dari semenjak permulaan imamah adalah unsur yang paling penting, kaidah yang paling kuat dalam konsep dakwah Syiah, dan tempat berteduh yang aman. Dan dia berusaha menegaskannya dan mendukungnya dengan berbagai cara, baik secara rohani ataupun secara kekuatan kelompok. Dan berusaha dengan keras untuk mendapatkan berbagai dukungan dalil mengenai imamah dari al-Quran dan hadits, sehingga tercipta suasana keimanan dan kesucian mengenai imamah, yang pada akhirnya terus naik derajatnya sampai mencapai derajat kenabian. Para fuqaha, perawi, dan dai Syiah berusaha dari semenjak awal kemunculannya menciptakan suasana kesucian ini di sekeliling imamah dengan melalui berbagai kitab dan risalah yang mereka ciptakan[23].

Akan tetapi, Syiah zaidiyah –selain Zaidiyah al-Jarudiyah- dikecualikan dari ini semua. Dan yang berjasa melakukannya adalah imam Zaid bin Ali, pendiri kelompok ini. Karena berbagai pendapatnya muncul dalam bentuk yang moderat, sebagai reaksi terhadap meluasnya pendapat-pendapat yang ekstrem dalam masa kekuasaan umawiyah yang disebabkan oleh sempitnya pemikiran dalam tubuh Syiah. Maka pada masa itu muncullah berbagai pemikiran yang radikal dan menyimpang yang dipicu oleh penindasan dan kezaliman penguasa. Muncullah pemikiran tentang ketuhanan Ali ra, kemunculan kembali Nabi saw, dan penafian kematian Ali ra, serta masih banyak lagi pemikiran menyimpang yang lainnya.

Berbagai pemikiran imam Zaid muncul di tengah munculnya tiga pemikiran ini:

    Pertama: sesungguhnya kekhilafahan ditetapkan dengan keturunan bukannya secara pemilihan.
    Kedua: keyakinan mengenai perampasan Abu Bakar terhadap hak kekhilafahan yang sepatutnya milik Ali.
    Ketiga: kema’shuman para imam. Serta berbagai keyakinan yang batil yang lainnya.

Dari sini, aliran zaidiyah lahir sebagai suatu reaksi terhadap para ekstremis Syiah khususnya Syiah imamiah dan Syiah isma’iliyah bathiniah. Dan Syiah zaidiyah membuat jembatan yang menjadi penyambung antara ahli sunnah dan Syiah. Karena mereka tidak menerima pendapat mengenai adanya nash jalliy (teks yang jelas), kema’shuman para imam, kemunculan kembali Nabi saw, serta ide mengenai kemunculan imam al-Mahdi al-Muntazhar. Semua akidah ini diyakini oleh Syiah imamiah dan Syiah isma’iliyah bathiniah dalam kadar yang sama. Dan ini bukanlah sesuatu yang aneh, karena pada permulaan kemunculannya dasar Syiah isma’iliyah diadopsi dari dasar Syiah imamiah, lalu di kemudian hari keduanya berpecah mencari jalan masing-masing.

    Ahmad Subhi –Profesor filsafat Islam Universiti Alexandria Mesir- berpendapat  dan menganalisis bahwa sebab pengingkaran zaidiyah terhadap pemikiran ini adalah karena mereka berkeyakinan bahwa kemunculan imam al-Mahdi tidak terlepas dari keyakinan terhadap imamah itu sendiri, karena semua keturunan Fathimah az-Zahra yang pemberani, alim, zuhud, dan yang berperang dengan pedang demi menyeru kepada kebaikan adalah seorang imam dan juga al-Mahdi dalam satu waktu. Jadi berbeda dengan pemahaman mengenai imam al-Mahdi yang memiliki makna penantian akan munculnya seorang pembebas atau seorang yang ikhlas yang diutus oleh Allah. Menurut zaidiyah, semua imam zaidiyah, seperti imam Zaid dan anaknya Yahya dan Muhammad adalah jiwa yang suci yang juga merupakan imam Mahdi[24].

Patut untuk diperhatikan bahwa pemahaman imamah menurut Syiah isma’iliyah bathiniah tidak banyak berbeda dengan Syiah imamiah. Mereka sama-sama berpendapat bahwa imamah termasuk salah satu rukun Islam yang paling mulia dan paling utama. Dan rukun Islam ini hanya dapat sempurna dengan adanya unsur imamah. Bahkan imamah ini adalah suatu derajat yang tinggi yang dikhususkan untuk Ali bin Abi Thalib. Bagi mereka imamah ini sama dengan kenabian, dan menjadi penerus bagi kenabian. Oleh karena itu, wajib dan mesti ada seorang imam pada setiap satu masa, untuk mengajarkan manusia mengenai perkara agama dan dunia, serta berbagai keyakinan yang lainnya[25].

Hamiduddin al-Karamani yang merupakan seorang dai Syiah isma’iliyah bathiniah berkata: “sesungguhnya bumi ini tidak kosong dari seorang imam yang muncul demi menegakkan hak Allah, baik secara zahir dan terang-terangan, ataupun secara tersembunyi dan tidak kelihatan”[26].

Setelah kami paparkan mengenai teori imamah menurut aliran Syiah secara umum, maka selanjutnya kami akan berbicara mengenai teori imamah menurut pandangan Syiah isma’iliyah bathiniah.

    Musthafa Ghalib seorang penganut Syiah isma’iliyah bathiniah modern memaparkan kepada kita bahwa teori imamah menurut pandangan Syiah isma’iliyah bathiniah berbeda dengan teori aliran Syiah yang lainnya. Karena para dai mereka memasukkan unsur filsafat ke dalam konsep imamah. Oleh karena itu, teori mereka mengenai imamah adalah sesuatu yang baru bagi aliran Syiah. Sehingga beberapa sejarawan dan ulama menilai teori imamah ini adalah sesuatu yang tidak biasa[27].

Ahmad an-Naisaburi yang merupakan seorang ulama bathiniah menjelaskan mengenai kepentingan imamah bagi aliran bathiniah, dia berkata: “imamah adalah pusat dan dasar agama, yang di sekelilingnya berputar berbagai perkara agama dan dunia, juga kebaikan akhirat dan dunia. Berbagai perkara hamba Allah diatur dengan imamah, juga pembangunan negara, serta penerimaan balasan di akhirat. Dan dengan imamah seseorang dapat mencapai ma’rifah tauhid, risalah dengan hujjah dan dalil, serta petunjuk yang membawa kepada pengetahuan dan penjelasan syariat”[28].

Dia juga berkata mengenai daruratnya keberadaan seorang imam dalam setiap masa dan tempat: “ sesungguhnya keberadaan seorang imam merupakan perkara darurat yang harus ada. Karena sesungguhnya semua syariat dan hukum-hukum bergantung kepadanya dan tidak terlepas darinya pada waktu kapan pun dan masa kapan pun. Menaati mereka merupakan suatu kewajiban bagi manusia, kepemimpinan mereka merupakan sesuatu yang harus diikuti, dan hukum-hukum yang mereka tetapkan selalu ada dan berbilang pada semua masa dan tempat untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kerusakan”[29].

Hal itu juga diisyaratkan oleh al-Wazir Ya’qub bin Kullais al-Bathini: “sesungguhnya imamah tidak terlepas dari dunia walaupun hanya sekejap mata, karena imamah adalah petunjuk kepada manusia”[30].

Sedangkan ulama bathiniah lain seperti, Abu Ya’qub as-Sajastani al-Bathini berkata mengenai tugas seorang imam: “ maka kewajiban untuk melantik para imam pada semua masa adalah bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada manusia, juga untuk menjaga agama”[31].

Isma’iliyah bathiniah memberikan dalil al-Quran dan hadits bagi pendapat mereka yang mengatakan bahwa bumi tidak terlepas dari seorang imam ma’shum. Dalil dari al-Quran adalah firman-Nya Azza wa Jalla: “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya;”. (QS. Al-Israa: 71).  Juga firman-Nya swt: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami”. (QS. Al-Anbiyaa: 73).  juga firman-Nya swt: ” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk”. (QS. Ar-ra’d: 7).  Maka Allah swt menjelaskan bahwa bagi setiap manusia dalam setiap masa ada seorang imam yang memberikan hidayat kepada mereka dengan perintah Allah untuk membawa kepada agama-Nya dan jalan-Nya yang lurus. Maka pada setiap masa harus ada seorang imam bagi manusia yang menjadi pemberi petunjuk kepada mereka, baik secara zahir ataupun secara tersembunyi[32].

Sedangkan dalil mereka dari hadits adalah sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Rasulullah saw:

“مَنْ مَاَت وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِهِ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً”

Artinya: “barang siapa yang mati tanpa mengetahui imam pada masanya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”[33].   Maka hadits ini –sebagaimana yang mereka klaim- memberikan makna bahwa manusia sangat memerlukan keberadaan seorang imam pada setiap masa dan tempat[34].

Di samping dalil al-Quran dan as-Sunnah, mereka juga menggunakan dalil rasional mengenai kewajiban imamah, mereka berkata: sesungguhnya tabiat manusia saling berbeda, hawa nafsu mereka juga saling berlainan, dan juga berbagai peristiwa yang tidak dapat diketahui juga tidak dapat dibatasi. Pada dasarnya tabiat manusia memiliki keinginan untuk memiliki dan menguasai, serta menyukai kemenangan. Oleh karena itu, sebagai suatu kebijaksanaan harus ada seorang hakim di antara manusia yang menjadi penengah mereka dalam berbagai kejadian. Maka manusia tidak dapat hidup terlepas dari hukum imam, juga tidak dapat melarikan diri dari ketetapan keputusannya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi saw semasa hayatnya. Maka Allah swt telah memberitahukan mengenai hal ini dalam firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa: 65). Dan yang dimaksud dengan hakim adalah imam, jika begitu maka imamah adalah suatu kewajiban[35].

Berdasarkan uraian tadi, dapat dilihat bahwa tidak ada perselisihan antara Syiah imamiah dengan Syiah isma’iliyah bathiniah pada poin ini. Mereka  sama-sama bersepakat bahwa hukum-hukum ilahi hanya dapat dipetik dari para imam, karena imam adalah orang yang mengetahui segala sesuatu hasil pengajaran dari alam ghaib. Dan sesungguhnya bumi tidak terlepas dari keberadaan seorang imam yang ma’shum[36].

Dalam riwayat al-Kulaini al-Imami beserta dengan sanadnya dari Abu Ja’far as dipaparkan: “ sesungguhnya jika seorang imam diangkat dari bumi untuk sesaat saja, maka para penghuni bumi pasti akan bergelombang sebagaimana bergelombangnya laut dengan para penghuninya”[37].

Hal ini juga ditegaskan oleh syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, seorang ulama Syiah modern, yang berkata: “oleh karena itu, suatu masa tidak boleh kosong dari seorang imam yang harus ditaati yang dipilih langsung oleh Allah taala, tanpa memedulikan apakah manusia enggan ataupun menerima, juga baik mereka mendukungnya ataupun tidak mendukungnya, menaatinya ataupun  tidak menaatinya, juga apakah mereka tampak kelihatan dari mata manusia ataupun  tidak kelihatan”[38].

Akan tetapi, Syiah imamiyah dan Syiah isma’iliyah saling berselisih pendapat mengenai sebab yang membuat mereka memiliki pendapat seperti ini. Syaikh Ja’far Subhani, seorang ulama Syiah modern  berkata memberikan penjelasan mengenai perbedaan di antara kedua sekte ini: “ aku berkata: sesungguhnya apa yang telah disebutkan  olehnya  -oleh bathiniah- mengenai bahwa bumi tidak pernah terlepas dari keberadaan imam Allah yang hak, akan tetapi sebabnya bukanlah seperti yang mereka katakan mengenai pelaksanaan hudud, menjaga aturan-aturan, dan mencegah kerusakan; maka sesungguhnya hal itu juga dilaksanakan oleh semua penguasa. Sesungguhnya sebabnya adalah dia –imam- adalah seorang manusia yang sempurna, dan dia adalah tujuan utama dalam penciptaan, maka dengan keberadaan manusia yang sempurna itu mesti ada alam dan akhirat dengan izin Allah swt untuk tercapai tujuan penciptaannya”[39].

Isma’iliyah bathiniah telah memberikan dan melekatkan beberapa sifat tuhan dan posisi yang suci dan tinggi untuk para imamnya. Seperti memberikan sifat bahwa mereka adalah wajah Allah kepada para imam mereka, juga tangan Allah, sisi Allah, Hujjah Allah, jalan yang lurus, dan zikrul hakim. Dalil yang mereka gunakan untuk penyipatan ini adalah, sesungguhnya seorang manusia tidak mengetahui kecuali dengan ajarannya. Dan manakala seorang imam adalah yang menunjukkan seorang ulama mengenai ma’rifah Allah, maka dengan sebabnya dia mengenal Allah, jadi dia adalah wajah Allah yang dengan sebabnya seseorang mengenal Allah. Dan tangan adalah yang dipergunakan oleh manusia untuk menyerang dan  mempertahankan dirinya, dan imam adalah yang membela agama Allah, dan memerangi musuh-musuh Allah, maka dia adalah tangan Allah dalam posisi ini.

Bahkan Isma’iliah mengklaim bahwa para imam mereka adalah yang menghisab manusia pada hari kiamat. Sedangkan di dunia, mereka harus meminta ampunan dari Allah melalui para imam, karena mereka diibaratkan sebagai khalifah Allah di dunia, pintu-pintu rahmat-Nya, dan sebab ampunan Allah bagi para hamba-Nya. Barang siapa yang meminta syafaat kepada mereka akan diberikan syafaat oleh Allah,  barang siapa yang meminta rahmat kepada mereka dirahmati Allah, dan barang siapa yang bertawassul dengan mereka pasti akan sampai[40]. Jika begitu, maka berdasarkan keyakinan isma’iliyah bathiniah imam Ali bukanlah Allah akan tetapi dia tidak terlepas dari Allah[41].

Seorang ulama bathiniah Hibatullah asy-Syairazi mengatakan secara terang-terangan bahwa para imam adalah wajah Allah, dia berkata: “para nabi,  para pemberi wasiat, dan para imam as adalah wajah Allah taala”[42].

Isma’iliyah bathiniah juga berpendapat bahwa yang dapat mencapai derajat para nabi hanyalah para imam. Hal ini diisyaratkan oleh Ahmad an-Naisabury, seorang dai bathiniah, dengan perkataannya: “sesungguhnya poros agama terdapat pada seorang imam, dan sesungguhnya seorang imam menjalani peran Nabi dalam menjalankan syariatnya, dan derajat Nabi serta posisinya dan syariatnya yang benar yang tidak berubah dan tidak berganti hanya dapat dicapai oleh seorang imam. Dan hakikat agama dan ta`wil (penafsiran al-Quran), serta makna-makna syariat hanya dapat dicapai oleh imam[43].

Sesungguhnya yang mendorong isma’iliyah bathiniah berpendapat bahwa imam adalah yang akan menghisab manusia pada hari kiamat didorong oleh keyakinan dan keimanan mereka yang dalam bahwa semua syariat dan hukum dipegang oleh imam. Mengenai hal ini dai bathiniah Hatim bin Ibrahim al-Hamidi berkata: “dan pengumpulan manusia pada hari kiamat bersama imam. Sesungguhnya imam adalah magnet ulama agama. Dan begitu juga, sesungguhnya jiwanya yang mulia menarik jiwa-jiwa hambanya sehingga mereka berada di ufuknya dan perlindungannya. Sebagaimana halnya batu magnet menarik dinginnya besi jika bercampur dengan pasir, dan batu magnet mendekatkan kedinginan besi dengan batu magnet yang berada di balik pasir. Batu magnet ini adalah benda mati yang sama sekali tidak memiliki akal, lalu bagaimana halnya dengan kehidupan orang-orang yang alim”[44].

Oleh karena itu, isma’iliyah bathiniah telah memberikan imamah posisi yang mulia dan suci. Dan mereka jadikan imam sebagai panutan mereka yang paling utama, sehingga mereka berikan dia kekuasaan dan keistimewaan yang besar dan luas. Posisinya sama dengan posisi Nabi saw, dan yang membedakan dia dengan Nabi saw hanyalah Nabi saw muncul lebih dahulu dibandingkan dia. Dan dia juga dapat berkomunikasi dengan malaikat secara akal aktif sebagaimana halnya Nabi saw.

Dalam hali seorang ulama bathiniah Ahmad an-Naisabury berkomentar mengenai kepribadian dan keistimewaan imam Ali bin Abi Thalib: “ dan membaur di dalam zatnya (Ali) kekuatan para nabi, orang-orang yang sempurna, dan orang-orang yang bijaksana. Hal ini juga ditambah dengan berbagai perkara yang mereka tidak dapat memperolehnya. Dan seandainya dia tidak menempati posisi yang suci ini niscaya ilmu dan hukum mereka tidak sempurna, dapat kekal sepanjang masa. Dan semua unsur jasmani, rohani, dan bumi telah menyatu dengan amirul mukminin (Ali), dan semua ini diciptakan untuknya”[45].

Sedangkan ulama bathiniah yang lain yaitu Idris Imaduddin berkata mengenai keistimewaan imamah: “ sesungguhnya imamah adalah penyatuan jiwa-jiwa yang mulia, yang tinggi, yang agung, yang telah dididik dengan berbagai amal perbuatan yang mulia, dan telah diciptakan berbagai akhlak yang mulia secara alami, dan diwarnai dengan warna rohani yang mulia, dan berintisarikan ilmu-ilmu yang lembut dan hakiki”[46].

Dari sini, kita dapati Ibnu Hani al-Andalusi menggambarkan kepada kita ide mengenai imamah dan pemahamannya secara umum menurut isma’iliyah bathiniah dalam sebuah syair:

Apa yang engkau kehendaki adalah apa yang dikehendaki oleh takdir

Maka engkaulah yang memutuskan karena engkau adalah yang esa lagi berkuasa

Di sini Ibnu Hani manakala memuji imam al-Mu’izz al-Fathimi dia ambil dua nama dari nama Allah yang utama, yaitu esa dan berkuasa. Dan dia tidak berikan sama sekali nama yang memberikan makna ciptaan.

Kemudian, Ibnu Hani kembali memberikan imam sifat risalah yang diwarisinya dari Nabi saw dengan ucapan syairnya:

Dan seakan-akan kamu adalah Nabi Muhammad

Dan seakan-akan pendukung kamu adalah pendukungnya[47].

Menurut DR. Musthafa Ghalib yang merupakan seorang penganut isma’iliyah bathiniah modern, ungkapan Ibnu Hani ini adalah ungkapan yang paling tepat[48].

Di antara karakteristik teori imamah menurut isma’iliyah bathiniah yang tidak kita temui pada aliran Syiah yang lainnya adalah keyakinan mereka bahwa sejarah dakwah mereka sudah lama, yaitu berwujud semenjak adanya makhluk hidup di dunia ini. Oleh karena itu, silsilah imamah menurut mereka tidak hanya bersumber dari Isma’il bin Ja’far saja, akan tetapi berakar kepada masa ketika dimulainya penciptaan makhluk hidup. Mereka berkata: sesungguhnya imamah dimulai dari semenjak dimulainya kehidupan manusia, maka Adam as adalah imam yang pertama. Dan dasar serta pewasiatnya adalah seseorang yang bernama Hunaid. Dan masanya dinamakan sebagai masa pembentukan yang berjalan selama dua ribu delapan puluh tahun empat bulan dan lima belas hari. Dan berakhir sampai munculnya imam al-Muntazhar (yang ditunggu) yang masanya dinamakan sebagai masa yang ketujuh[49].

Isma’iliyah bathiniah juga memiliki karakteristik yang membedakannya dengan aliran Syiah yang lainnya dengan pendapat mereka bahwa Islam dibangun berdasarkan oleh tujuh fondasi, yang tanpa ketujuh fondasi ini seorang manusia tidak dapat dikatakan sebagai orang Islam dan beriman. Hal ini dipaparkan oleh al-Qadhi an-Nu’man al-Bathini yang berdasarkan kepada riwayat Abu Ja’far as, sesungguhnya dia berkata: Islam dibina berdasarkan tujuh fondasi: wilayah, yang merupakan fondasi yang paling utama. Dan  wilayah  dan wali ini adalah jalan untuk mencapai ma’rifah. Kemudian, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad[50].

Sedangkan Syiah imamiah berpendapat bahwa Islam dibina berdasarkan lima fondasi, yaitu: shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Disebutkan di dalam al-Kulaini al-Imami dengan sanadnya dari Abu Ja’far as, dia berkata: “ Islam dibina berdasarkan lima fondasi: shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Dan tidak ada yang dapat menandingi seruan terhadap wilayah”[51].  Juga diriwayatkan darinya: “ Islam dibina berdasarkan lima fondasi: shalat, zakat, haji puasa, dan wilayah, Zararah berkata: maka aku berkata: di antara lima perkara ini manakah yang paling utama? Dia menjawab: yang paling utama adalah wilayah karena dia adalah kunci ke semua perkara ini, dan wali adalah yang menjadi petunjuk bagi ke semua perkara ini”[52].

Meskipun begitu, maka sesungguhnya imamiah dan isma’iliyah  bathiniah –sebagaimana yang dipaparkan oleh nash-nash ajaran mereka- sepakat bahwa wilayah adalah perkara yang paling utama di antara kelima perkara ini.

Kemudian, isma’iliyah bathiniah berbeda pendapat dengan aliran Syiah yang lainnya pada perkara bahwa imamah terbagi kepada dua jenis. Yang pertama: imam mustaqirr (imam permanen), dan yang kedua: imam mustawda’ (imam sementara). Berkaitan dengan hal ini al-Qadhi an-Nu’man al-Bathini berkata: “imam permanen tidak seperti imam sementara, sebagaimana wakil tidak sama dengan yang mewakilkan, juga sebagaimana pemegang wasiat tidak sama dengan yang mewasiatkan, dia tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan kepada orang lain sesuatu yang berada di kedua tangannya, dan dia juga tidak boleh menyerahkan tanggung jawabnya kepada orang lain”[53].

Jadi, imam permanen adalah imam yang memiliki kekuasaan tersendiri untuk mewariskan imamah atau kepimpinan kepada anak-anaknya (generasi selanjutnya). Dan dia tidak akan melakukan kesalahan dalam kondisi apapun, karena dia memiliki sifat ma’shum secara alami. Sedangkan imam sementara adalah yang menyerahkan berbagai perkara imamah dalam berbagai kondisi pengecualian yang sulit sebagai wakil dari imam permanen. Dia juga memiliki kekuasaan seperti imam permanen, akan tetapi dia tidak memiliki hak untuk mewariskan imamah. Dan dia memiliki sifat ma’shum yang diperolehi karena kedudukannya. Nama julukan yang diberikan kepadanya adalah na`ib ghaibah atau wakil dari imam yang ghaib (menghilang). Dan manakala para imam menjalani fase persembunyian akibat takut dari musuh-musuh mereka -yakni sebelum mereka mampu mendirikan suatu negara-, maka mereka melantik imam-imam sementara untuk mengaburi mata musuh mereka sekaligus menutupi imam yang sesungguhnya. Jadi jika seperti ini keadaannya, maka dalam semua masa Syiah isma’iliyah bathiniah selalu mampu memiliki seorang imam, baik imam permanen ataupun imam sementara[54].

Seorang orientalis bernama Bernard Lewis memberikan julukan “imam al-Hafizh” kepada imam sementara. Karena dengan kepercayaan seperti ini sebagian ulama Bathiniyah memakai julukan imam dan melaksanakan berbagai tugasnya. Atau imam yang sebenarnya terus tersembunyi, agar mereka dapat mengatur pergerakan dan mengalihkan opini umum, sehingga imam permanen terlepas dari bahaya[55].

Inilah uraian mengenai pendapat Syiah isma’iliyah bathiniah terhadap imamah. Oleh karena itu, jika kita perhatikan secara cermat maka kita dapati dalam ideologi Syiah imamiyah dan Isma’iliyah, bahwa walaupun mereka memiliki berbagai perbedaan sumber akan tetapi mereka memiliki tujuan yang satu, yaitu hanya mengonsentrasikan loyalitas yang mutlak kepada imam mutlak. Maka hanya sang imam sajalah yang menjadi hasil akhir bagi semua pendahuluan dan poros yang berputar di sekelilingnya berbagai pemahaman agama dan dalil-dalil akidah. Dia adalah kekuasaan yang paling tinggi, dan sumber semua undang-undang, atau peraturan, atau syariat.

Dari sini, sangat jelas –khususnya Syiah isma’iliyah- bahwa tidak ada keraguan bahwa imam dianggap sebagai poros utama yang di sekelilingnya berputar semua permasalahan agama, baik akidah ataupun syariah. Akan tetapi, mereka tidak mengumumkan secara terang-terangan akidah mereka ini, bahkan akidah ini mereka rumuskan dalam bentuk simbol-simbol rahasia berdasarkan kepada teori zahir dan batin, sebagai tirai untuk mencapai apa yang diisyaratkan oleh simbol-simbol tersebut.

Pada kesimpulannya, Syiah berpandangan bahwa kepemimpinan adalah salah satu keperluan mendasar dalam kehidupan umat manusia. Dan keperluan ini tidak dapat diabaikan dalam situasi, kondisi dan keadaan apapun. Dengan kepimpinan (imamah), tatanan dunia dan agama yang bengkok dapat diluruskan. Keadilan yang telah dicanangkan oleh Allah akan terealisasi di muka bumi ini, stabilitas rakyat  dan ketenteraman mereka akan terus terwujud, berbagai kesulitan dan bencana akan dapat diatasi, dan kezaliman orang yang kuat atas orang yang lemah dapat dicegah.

Dengan demikian, sebagai asas pemikiran politik Syiah, mereka meyakini bahwa kebijaksanaan sang Pencipta alam (al-Hikmah al-Ilahiyah) menuntut perlunya pengutusan para Rasul untuk membina, membimbing dan mengarahkan umat manusia. Demikian pula halnya mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Allah Swt juga menuntut kehadiran seorang imam sesudah wafatnya Rasulullah Saw guna terus dapat membimbing umat ke jalan yang benar, lurus, (shiratul mustaqim) atau dengan kata lain seorang imam akan memelihara kemurnian agama dari penyimpangan dan perubahan. (dakwatuna.com/hdn)

— Bersambung…

Catatan Kaki:

[1] Al-Muqbili, al-Ilmi asy-Syamikh, hal 11.

[2] Al-Iiji, Kitab al-Mawaqif, 3/574, 79.

[3] Lih, al-Qasim bin Muhammad, Kitab al-Asas li’Aqa`id al-Akyas, hal 159.

[4] Asy-Syaikh al-Mufid, 1371 H, Awa`il al-Maqalat, hal 64.

[5] Al-Iyani, al-Husain al-Qasim, al-Mu’jiz, hal 241.

[6] Ahmad bin al-Hasan ar-Rashshash, al-Khulashah an-Nafi’ah, hal 218.

[7] Humaidan bin Yahya, at-Tashrih bil-Mazhab ash-Shahih, hal 209.

[8] Lih, al-Maw’izhah al-Hasanah, hal 107.

[9] Dia adalah Jamaluddin Yusuf bin al-Hasan bin Ali yang mempunyai julukan Ibnu al-Muthahhir al-Hully, seorang syaikh dan ahli fiqh syia’ah imamiyah. Dia lahir di kota al-Hullah, yang merupakan sebuah kota besar yang terletak di antara Kufah dan Bagdad.

[10] Lih, hal 27, 1379 H, Mu`assasah ‘Asyura lit-Tahqiqat wal-Buhuts al-Isma’iliyyah, Qum-Iran.

[11] Al-Muzhaffar, Muhammad Ridha, ‘Aqa`id al-Imamiyyah, hal 65.

[12] Ar-Risalah al-Kafiyah, hal 181.

[13] Musthafa Helmi, 1988M, Nizham al-Khilafah Bayna Ahli as-Sunnah wasy-Syi’ah, hal 153, Dar ad-Da’wah, Iskandariah-Mesir.

[14] Dia adalah Imam an-Nashir Lidinillah Ahmad bin al-Imam al-Hadi Ilal-Haqq Yahya bin al-Husain bin al-Qasim bin Ibrahim bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Hasan bin al-Hasan as-Sabth bin Ali bin Ali bin Abi Thalib, salah seorang imam Zaidiyah, wafat di Sha’dah, tahun 325 H.

[15] Ahmad bin Yahya al-Husain, 2001 M, Kitab an-Najah, hal 167, Kairo.

[16] Nasywan al-Humairi, Syarh Risalah al-Hur al-‘Ain, hal 154.

[17] Asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, 1/146.

[18] Hadits ini telah ditakhrij pada halaman yang sebelumnya.

[19] Yahya bin Hamzah, ‘Aqd al-La`ali Fi ar-Raddi ‘Ala Abi Hamid al-Ghazali, hal 53.

[20] Lih, al-Qasim ar-Rassi, Tatsbit al-Imamah, hal 40.

[21] Beliau adalah Profesor jurusan akidah dan filsafat, fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo, dan mantan rektor IIU Islamabad-Pakistan.

[22] Lih, Hasan asy-Syafi’I, al-Madkhal Ila Dirasat Ilmi al-Kalam, hal 102-103.

[23] Muhammad Abdullah Annan, 1083 M, al-Hakim Biamrillah wa-Asraru ad-Da’wati al-fathimiyyah, hal 34, Maktabah al-Khanji, Kairo.

[24] Subhi, Mahmud Subhi Ahmad, Nazhariyyatu al-Imamah Laday al-Itsna ‘Asyariyyah, hal 405.

[25] Ad-Da’i Abu Ya’qub as-Sajastani, Kitab al-Iftikhar, hal 68.

[26] Hamiduddin al-Karamani, al-Mashabih Fi Itsbat al-Imamah, hal 106.

[27] Lih, Mukaddimah Kitab Itsbat al-Imamah, hal 13-14.

[28] Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 27.

[29] Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 71.

[30] Ya’qub bin Kullais, ar-Risalah al-Mazhabiyyah, hal 142.

[31] As-Sajastani, Abu Ya’qub, Kitab al-Iftikhar, hal 71.

[32] Kitab al-Iftikhar, hal 70.

[33] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, bab Da’aim al-Islam, 2/54.

[34] Lihat, ad-Da’i Hasan bin Nuh, Majmu’ah at-Tarbiyyah, hal 239.

Hadits ini diriwayatkan oleh ak-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, bab Da’aim al-Islam, 2/45. Juga Muslim dalam sahih-nya, Kitab al-Imarah, bab “al-Imam”, no 1851, datang dengan lafaz:

( مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بِيْعَةً مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً)

“barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan pada hari kiamat dia akan berjumpa dengan Allah tanpa memiliki hujjah, dan barang siapa yang mati tanpa melakukan bay’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”. Juga diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa`id, 5/218, dan dalam satu riwayat:

( مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فيِ عُنُقِهِ بِيْعَةً مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً)

“barang siapa mati tidak melakukan bay’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”. Sanad kedua hadits ini dha’if. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 19/388, no 910, dari Mu’awiyah dengan lafaz:

(مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً)

“barang siapa mati tanpa ada seorang imam maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”

[35] Ad-Da’i Ahmad Hamiduddin al-Karamani, 1416 H-1996 M, al-Mashabih Fi Itsbat al-Imamah, hal 66.

[36] Lih, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 66.

[37] Ushul al-Kafi, bab “Annal ardha la takhlu min hujjah”, 1/201.

[38] Al-Muzhaffar Muhammad Ridha, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 66.

[39] Asy-Syaikh Ja’far Subhani, Kitab Buhuts Fi al-Milal wan-Nihal, 8/223.

[40] Al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, al-Himmah Fi Aadab Atba’ al-A’immah, 45.

[41] Lih, Musthafa Ghalib, al-Imamah wa Qa`im al-Qiyamah, hal 148.

[42] Al-Majalis al-Mu`ayyadiyyah, hal 258.

[43] Ad-Da’I Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 28.

[44] Lih, Zahr Budzr al-Haqa`iq, hal 170-171.

[45] Ad-Da’i Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 85.

[46] Ad-Da’i Idris Imaduddin, Kitab Zahrul Ma’ani, hal 274.

[47] Diwan Ibnu Hani, hal 146, cetakan Beirut.

[48] Lih, Mukaddimah kitab Itsbat al-Imamah, hal 18.

[49] Lih, Sara`ir wa Asrar an-Nuthaqa, ad-Da’I Ja’far bin Manshur al-Yamani, hal 72.

[50] Al-Qadhi an-Nu’man, Da’a`im al-Islam, ½.

[51] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, Bab Da’a`im al-Islam, 2/42.

[52] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, Bab Da’a`im al-Islam, 2/43.

[53] Al-Qadhi an-Nu’man, Kitab al-Majalis wal-Musayarat, hal 411.

[54] Patut untuk disebutkan di sini, bahwa isma’iliyah telah menerapkan sistem ini pada Hasan bin Ali. Mereka anggap dia imam sementara sebagai wakil dari imam permanen, yaitu Husain bin Ali. Lih, al-Wazir Ya’qub bin Kallas, ar-Risalah al-Mazdhabiyyah, hal 143.

[55] Lois Bernard, Ushul al-Isma’iliyyah, hal 94.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/12/29/84501/imam-mahdi-perspektif-aliran-aliran-syiah-bagian-1/#ixzz4Y0WuF3I0

Hukum Makan Daging Sembelihan Orang Syiah

Soal:
Penanya dan jamaah yang bersamanya tinggal di perbatasan Utara, berdekatan dengan markas-markas kelompok orang-orang Iraq. Di sana, ada jamaah yang bermadzhab ja’fariyah. Sebagian dari mereka menolak makan  daging hewan sembelihan orang-orang tersebut, sedangkan sebagian lagi mau memakannya. Pertanyaan kami boleh (halal) memakan daging tersebut, perlu diketahui bahwa mereka suka berdoa kepada Ali, Hasan, Husain, dan seluruh pemimpin mereka, dalam keadaan susah dan senang?

Jawab:
Bila persoalannya benar seperti yang diungkapkan oleh penanya, bahwa komunitas yang di sekitarnya adalah orang-orang yang beraliran ja’fariyah yang suka berdoa kepada Ali, Hasan, Husain dan pemuka-pemuka mereka, maka orang-orang tersebut telah musyrik dan murtad dari Islam – kita berlindung kepada Allah.

Memakan daging hewan yang disembelih mereka tidak halal karena itu adalah bangkai, walaupun mereka menyebut nama Allah dalam penyembelihannya. Semoga Allah memberikan taufik serta melimpahkan shalawan dan keselamatan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Komisi Tetap untuk Riset dan Ilmiah dan Fatwa:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazaq Afifi
Anggota:
(1) Abdullah bin Qu’ud
(2) Abdullah bin Ghadyan
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal ifta’, II : 372)


Soal:
Saya berasal dari suku kecil yang tinggal di perbatasan utara. Suku kami hidup bercampur dengan suku-suku dari Iraq. Madzhab mereka adalah Syiah watsaniyah (penyembah berhala). Mereka beribadah kepada kubah-kubah yang mereka namakan Hasan, Husain, dan Ali. Bila salah seorang dari mereka beribadah, ia berkata, “Wahai Ali, wahai Husain”.


 Sebagian orang dari suku kami telah hidup berbaur dengan mereka melalui pernikahan dan dalam segala hal. Saya telah menasehati mereka, namun mereka tidak mengindahkannya. Mereka berada dalam kehidupan yang mapan dan memiliki kedudukan, sedangkan saya tidak memiliki ilmu yang cukup untuk menesehati mereka. Akan tetapi, saya membenci hal itu dan memilih tidak berbaur dengan mereka.

 Saya mendengar bahwa daging heewan sembelihan mereka tidak boleh dimakan, namun orang-orang dari suku saya tersebut malah memakannya. Mereka tidak menjaga diri. Saya memohon kepada dewan terhormat untuk memberikan penjelasan yang pasti tentang apa yang telah saya sebutkan ini.

Jawab:
Jika realitasnya yang anda sebutkan, mereka berdoa kepada Ali, Husain,  Hasan dan yang lainnya, maka mereka telah melakukan kesyirikan besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agam Islam. Kita tidak boleh menikahkan mereka dengan anak-anak perempuan kita dan kita pun tidak halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Kita tidak boleh memakan daging hewan sembelihan mereka. Allah Ta’ala berfirman :

 وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ [٢:٢٢١]


“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan  ampunan dengan izin-nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Al-Baqarah (2) : 221).

Semoga Allah memberikan taufik serta melimpahkan shalawat dan keselamatan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Komisi Tetap untuk Riset dan Ilmiah dan Fatwa:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazaq Afifi

Anggota:
(1) Abdullah bin Qu’ud
(2) Abdullah bin Ghadyan

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal ifta’, II : 373)